Sudah lama aku dan Mira tidak melakukan perjalanan bersama membuat kami agak uget-uget dan mager untuk memulai perjalanan kembali. Awalnya tidak sempat terpikirkan untuk kami berjalan ke sebuah daerah mengingat aku sedang dalam tahap awal skripsi. Namun, siapa sangka rencana yang 'mendadak' lah yang terkadang akan selalu jadi.
Awal bulan Januari, aku yang baru saja pulang kampung dari Pekanbaru, harus mengikuti sidang sehingga balik lebih awal ke Bali untuk mengikuti sidang hasil akhir skripsi menuju tugas akhir. Setelah sidang, hanya tersisa revisi agar aku disetujui untuk mengikuti tugas akhir dan akan berakhir di wisuda rencana di pertengahan tahun 2019. Alhamdulillah, segala sesuatu nya lancar sesuai dengan rencana. Disela-sela kesibukanku, datang lah Fika yang saat itu sedang menempuh ilmu di Aussie dan sedang transit di Bali. Mira kawanku juga datang ke Bali karena kami ingin melakukan perjalanan menggunakan motor hingga sampai ke Sumbawa, bahkan ada rencana untuk naik Tambora.
Aku akhirnya mempertanyakan persetujuan ibu untuk melakukan perjalanan kembali. Namun, Ibu tidak mengizinkan aku menggunakan motor dengan Mira. Alasan yang biasa Ibu lontarkan sebenarnya, karena aku anak satu-satunya dan wanita, ais. Selanjutkan, aku dan Mira akhirnya memilih bus untuk berangkat menuju Sumbawa.
Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa. |
Awak kapal biasanya melempar tali kecil dahulu, kemudian orang lapangan akan menarik tali tersebut yang juga dihubungkan dengan tali besar untuk mengaitkan kapal. |
Pagi sekitar jam 8.00 WITA aku dan mira berpamitan dengan Fika. Hehehhe sorry ya fik gue tinggal lo sendiri di kosan gue. Kami lalu memesan go-car menuju terminal Ubung. Dasar aku yang jarang cek dan ricek juga kurang update. Kami baru tahu bahwa kalau mau berangkat ke Padang Bai lewat terminal Mengwi karena terminal umum sekarang sudah banyak yang pindah ke Mengwi. Alhasil, aku dan mira yang menurut hitungan jam kami setidaknya jam 12.00 WITA sudah sampai Padang Bai malah harus menunggu sekitar 4 jam sampai akhirnya sekitar jam 2 atau 3 siang menuju sore kami berangkat bersama 1 penumpang yang baru datang dari Mengwi.
Perjalanan menuju Padang Bai dari Ubung sekitar 1 jam 45 menit atau kira-kira 2 jam lama perjalanan. Kecuali kalo supirnya ngebut ya beda cerita hehe. Sesampainya di Padang Bai, aku dan Mira langsung membeli tiket dan menunggu di warung untuk mengisi perut. Kami juga bingung karena kapal berangkat malam dan mungkin sesampainya di Lombok juga malam. Maka setelah kami melakukan ibadah, kami mendapat ilham, dari bapak-bapak yang sedang duduk-duduk disana. Kami disarankan untuk menunggu kapal yang berangkat sekitar jam 12 malam sehingga kami bisa menginap di kapal dan esoknya langsung subuhnya melanjutkan perjalanan dari Lombok ke Sumbawa Besar.
Bapak itu lalu menanyakan kami, berapa orang yang ada dalam rombongan perjalanan, kami bilang hanya kami berdua. Bapak tersebut terkejut melihat anak-anak muda gempal seperti kami dapat berjalan berdua. Ekspresi itu akan kami temukan selama perjalanan, setiap orang-orang menanyakan berapa orang yang ada di perjalanan dan mendapati hanya kami berdua, mereka langsung terbelalak dan selalu bilang 'hebat'. Entahlah, mungkin aneh saja melihat dua anak gadis berpetualang dan terlihat terkadang rasa ngeri di raut wajah mereka. Alhamdulillah selama perjalanan tidak terjadi apa-apa.
Setelah sampai di Lombok sekitar jam 4 subuh yang dingin dan gerimis manis. Mira dan aku memilih untuk melihat SIKON , Situasi dan kondiri. Karena terkadang dalam beberapa histori yang ada, kami bisa mendapatkan akomodasi lebih murah bila bertanya-tanya ke warung terlebih dahulu. Biar tidak ditipu supir. Sholat subuh sudah dijalankan, akhirnya kami beraksi untuk ngecek sana-sini, mencari mobil apa yang baik untuk kami tumpangi dengan harga yang sesuai. Akhirnya, aku dan Mira sepakat menaiki mobil sejenis avanza atau innova (aku lupa) dengan satu penumpang yang sama dengan kami yang dari Mengwi kemaren. Ternyata mas-mas itu juga dari Sumbawa alamat kami bertiga nanti akan diantar ke terminal DAMRI Bertais. Sesampainya di terminal, kami bergegas menuju bus yang ada. Terminal ini bersih dengan ruang tunggu yang nyaman, lucunya lagi, pengumumannya menggunakan google translate sehingga terkesan kaku dan aneh menurutku hahaha.
Perjalanan dari terminal menuju pelabuhan sangat indah dan nyaman. Sesampainya di pelabuhan, kami baru ingat bahwa kami tidak ada tempat tinggal selama di Sumbawa. Alamat akhirnya aku dan Mira menelpon Acil, sobat DW (SMA ku dulu) yang asli dari Sumbawa. Kami menanyakan info-info mengenai Sumbawa dan menanyakan penginapan. Akhirnya ada satu hotel yang Acil sebutkan. Kami bilang tampaknya kami akan menginap disitu. Setelah naik kapal ferry menuju sumbawa. Saat di ferry kami bertemu dengan seorang traveller yang berasal dari Prancis, Nenek dengan umur yang sudah 3 kali lipat dibanding kami. Ia jalan-jalan dengan sendirian! bayangkan!
Kami melihat nenek itu berbicara dengan seorang bapak-bapak dengan batu akik di tangan kanan dan kirinya. Bapak tersebut berbicara dengan inggris raegae dengan bahasa yang kurang dimengerti. Sehingga aku dan Mira ikut nimbrung dan akhirnya menjadi translator. Nama nenek tersebut Francoise (bacanya fransoa) , aku dan Mira hanya bisa membantu nenek itu untuk menemukan penginapan, dan sama dengan kami, nenek itu ingin ke pulau Moyo!
Akhirnya kami berjanji untuk bertemu di pelabuhan rakyat untuk berangkat bersama. Sesampainya di terminal, aku dan Mira sempat bingung hendak naik apa ke hotel yang sudah disebutkan Acil sebelumnya. Akhirnya dengan naik angkot aku dan Mira berangkat.
Perjalanan membuatmu untuk menerima bahkan tidak membuat rencana apapun, namun kau tahu sebenarnya tujuanmu akan kemana.
Begitulah kira-kira tipe perjalanan aku dan Mira, walaupun kami sudah tau tujuan kami hendak kemana, terkadang masalah hotel maupun akomodasi yang ada kadang mendadak bisa berubah. Aku dan Mira menginap di hotel Acil dan bertemu dengan orang tuanya.
Walaupun Acil sedang tidak di Sumbawa, kami tetap bersilahturahmi dengan baik dengan ibunya. Ibu Acil mengantari kami keliling Sumbawa, hingga mencicipi makanan khas Sumbawa seperti Sepat dan ikan bakar.
Awal rencana di Sumbawa aku ingin sekali bertemu dengan Jeje yang sedang bekerja disana. Setelah bertemu, Jeje memutuskan untuk menginap dengan kami. Senang sekali berkumpul dengan teman-teman SMA seperti saat aku bertemu Nadia, Ghiyats dan Rani di Malaysia. Entahlah, selalu ada teman SMA dimanapun aku pergi. Bernostalgia adalah cara kami berimajinasi dan mengingat apa yang kami lewati saat waktu itu sudah berlalu.
Esok subuhnya kami langsung berangkat, aku dan Mira optimis untuk mendapatkan kapal. Aku jadi ingat dahulu saat ke Belitung di awal musim penghujan, ombak yang ganas dan angin yang tidak menentu. Kami pergi dibulan Januari, hal itu juga yang terjadi pada kami, usut punya usut kapal rakyat itu tidak akan datang di pelabuhan yang kami tunggu, Akhirnya aku dan Mira memutar otak untuk mencoba di pelabuhan lain. Saat kami yang lesu ini berjalan, kami bertemu dengan sebuah mobil dan ada sepasang bapak dan ibu yang menawarkan jasa untuk mengantar kami ke pelabuhan selanjutnya.
Kami yang awalnya ragu lalu masuk kemobil. Setelah berbincang tenyata sang suami merupakan dosen di universitas negri di Sumbawa ini. Mereka mempuanyai dua anak kecil yang lucu dan mereka sedang berjalan-jalan pagi. Kami ditawari nasi bungkus untuk dijalan. Kami menyambangi dua pelabuhan yang biasanya terdapat kapal disana. Ternyata setelah kami sampai di pelabuhan terakhir, kapal sudah berangkat dari jam 7 pagi tadi saat kami mennuggu di pelabuhan rakyat. Kami juga bertemu dengan nenek Francoise dan menunggu kapal hingga siang. Ternyata kapal juga tidak datang dan akhirnya kami memilih untuk pulang.
Malam nya aku dan Mira bertemu dengan ayahnya Acil dan kami makan bersama. Orang tua Acil menceritakan perjalanan mereka saat ke Pulau Moyo dan membuat aku dan Mira ibaratnya ngiler parah. Jeje juga datang ke hotel kami dan kami main seperti biasa, esok adalah hari penentuannya, bila memang besok tidak ada kapal yang datang aku dan mira lebih memilih untuk mengelilingi Sumbawa Besar. Esok pagi subuh-subuh sekali kami bersama nenek Francoise berangkat ke pelabuhan, dan benar saja pemirsah, kapalnya tidak ada.
Di titik inilah aku sadar, bahwa tidak semua perjalanan itu harus dipaksakan, disini aku belajar untuk rela mengikhlaskan, kalau kata orang bijak sih, berarti belum saatnya kamu kesana.
Aku , Mira dan nenek Francoise memilih pulang. Nenek Francoise memilih untuk melanjutkan perjalanan ke Flores semntara aku dan mira awalnya henddak menyewa motor keliling sumbawa besar. Kami menanyakan untuk harga motor perjam, yang harganya sangat fantastis dan bombastis, yang biasanya di bali kamu bisa dapat sekitar Rp.80.000,- sehari, disini kamu hanya bisa dapat selama 4 jam. Kalo kata ibu-ibu warung di Sumbawa yang kaya adalah tukang ojek, karna sekali narik bisa sampai 10-20 ribu dengan jarak yang sangat dekat.
Hingga hari itu, aku dan mira menghabiskan waktu untuk berjalan ke sebuah desa adat untuk melihat tenun khas Sumbawa. Dusun Samri kalau tidak salah. Kami melihat Pengrajin tenun yang sangat jarang diperlihatkan dan menyambangi rumah satu persatu. Hari itu ditutup dengan kami yang berjalan ke instana kerajaan Sumbawa atau Istana Dalam Loka.
Cerita ini akan berlanjut ke post berikutnya ya guys!
Spread the Love!
Alya.
Alya.