Back to basic, back to waerebo

June 19, 2017

Waerebo 11/23 24 juli 2016


Pagi hari kami membuka hari dengan sarapan terlebih dalu sebelum memulai perjalanan sekitar 9,5 KM menuju kampung Waerebo. Setelah sarapan kami memulai perjalanan dengan jalanan aspal lalu dengan melewati jembatan bambu dan jalanan tanah di perbukitan . 3,5 jam lamanya perjalanan akhirnya kami sampai. Trecking yang menyenangkan, dengan jalanan yang sangat sederhana, masih terlihat asri, bahkan kami menemukan mata air di tengah perjalanan. Terlihat di beberapa tahun kedepan akan di bangun jalanan untuk memperpendek jarak tempuh dengan berjalan kaki.  Kami melewati jembatan bambu . " kemaren sempat ada yang jatuh dari jembatan ini" kata abang yang memandu kami, kami pun bertanya, "bagaimana bisa bang?" terlihat bahwa jempatan tersebut masih terlihat berdiri kokoh. "naik motor" sambut abang itu. Ternyata seseorang sempat melewati jalanan yang hanya cukup untuk 2 -3 orang berlalu lalang dengan naik motor, alhasil jembatan bergoyang dan sang pengendara bersama seorang turis pun terjatuh, beruntung jarak antara jembatan dan tanah yang ada dibawahnya tidak terlalu jauh.

Untung pas Rafi lewat ga bergoyang wkwkwk.

jeng-jeng inilah kampung Waerebo yang tersohor itu.
si ibu sedang memanaskan air untuk kopi.
Kepala desapun dengan semangat bercerita kepada kami.



Ada ritual yang harus dilakukan oleh pengunjung sebelum memasuki kampung ini, yaitu dengan membunyikan sejenis pentungan tetapi harus di getar sehingga menimbulkan bunyi agar orang-orang di kampung tersebut bisa mempersiapkan diri. Sebelum masuk, kami langsung menuju rumah utama agar dilaksanakan upacara penyambutan agar arwah-arwah leluhur disana menerima dan menjaga kami. setelah itu kami bebas melakukan apasaja di kampung ini. hari itu kami langsung di jamu dengan secangkir kopi di rumah khusus untuk tamu yang menginap. Kami bertemu dengan bang Kasius yang membantu kami selama disana, setelah makan bersama, aku pun penasaran untuk melihat kampung dari jauh, maka naiklah kami di bukit dekat kampung tersebut, katanya rumah yang ada diatas adalah taman baca. Sungguh indah kampung ini dengan kabut yang menyelimuti di sekelilingnya. Setelah puas melihat kampung dari jauh, kami pun turun dan melihat seorang ibu yang sedang memilah kopi, kami  menghampiri ibu tersebut dan mengobrol sebentar hingga akhirnya kami diundang masuk ke rumah ibu tersebut. Memang lokal jenius yang sebenarnya, terlihat didalam rumah perapian untuk menghangatkan air dan ruangan. Pada tengah rumah terletak peralatan dapur dan karung-karung hasil panenan kopi. Maka ibu dan bapak tersebut bercerita kepada kami tentang bagaimana kampung terdahulu dan akhirnya mendapat renovasi,tak kusangka ternyata disini kudapat pelajaran tentang arsitetur vernakular pula. Awalnya aku tak terlalu tertarik,namun setelah ku telisik memang kampung ini diperbaiki oleh seorang arsitek bernama Yori antar dahulu tahun 2008 hingga selesai,  maka dari pemugaran tersebut terciptalah kampung waerebo yang ku tahu sekarang sebagai destinasi baik dari mancanegara maupun turis lokal. Jika tidak ada pemugaran mungkin saja aku tidak mengetahui kampung dengan rumah yang sangat unik nan indah ini. Jangan salah, setiap dijamu disini , maka siap siap akan dijamu kopi sebagai tanda penghormatan kepada tamu. Tentu kita harus menghargai tradisi ini dengan meminumnya dan yang pecinta kopi pasti sangat suka datang kesini karena kopinya yang enak, sayang karena alasan budget aku tidak bisa membawa pulang kopi asli kampung ini :(. Katanya lagi,beberapa kopi yang ada di labuan bajo yang menge atas namakan kopi waerebo itu palsu, so guys! untuk meningkatkan perekonomian kampung ini, kalo singgah, beli kopinya juga yaa dijamin enak.















Sore itu, kami hanya menikmati pemandangan yang terbentang dihadapan kami, dengan 7 rumah yang mengelilingi lapangan, dan kabut yang menyelimuti kampung menjadi pemanis di belakang. Bentangan terpal yang diatasnya ditaburi biji-biji kopi yang di keringkan bersama anak-anak waerebo yang sedang bermain dengan roda ban sebagai alatnya. Kami akhirnya bermain dengan anak-anak tersebut dan membagikan permen sebagai hadiah, mereka terlihat tampak senang kala itu. maka aku dan Mira melihat nenek yang sedang menumbuk jagung, mungkin sebagai pakan ayam pikirku, maka kamipun akhirnya bertanya dengan nenek itu. Namun sayang, ternyata nenek itu tidak bisa berbahasa indonesia, sehingga dengan bahasa tubuh kami ingin mencoba untuk menumbuk jagung itu, nenek itu dengan senyumnya memberikan lesunngnya pada kami dan mulailah aku dan mira menumbuk secara bergantian, berat juga ternyata lesung itu, bahkan yang harusnya ketika di tumbukan kebawah berbunyi, aku dan mira pun tak sanggup mengangkatnya. Setelah kecapean kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan ingin berfoto dengan kepala desanya, namun memang dasar mira yang malu malu (kerena dia yang ngajakin duluan dan pengen banget) akhirnya kami hanya berfoto depan rumah utamanya saja. oh iya jika kesini mohon diingat-ingat tengah terdapat tumpukan batu yang dilapisis tanah dan rumput yang di percaya sakral , jadi jangan di injak ataupun di duduki ya.


malamnya kami hanya melihat bintang , bahkan milky way pun terlihat dengan mata telanjang, dalam momen diantara hutan belantara yang tak ada polusi cahaya, kamipun menyempatkan untuk memngabadikan momen tersebut dengan sebuah foto dibantu dengan bang Kasius. Waerebo malam itu sangat dingin. 




Pagi-pagi sekali kami harus kembali, awal niat yang ingin naik oto kayu (btw, I just realize orang-orang disasna bilanf mobil oto, apa ada hubungannya dengan mereka yang keturunan minang itu ya?) pun pupus dan kamipun akhirnya menaiki mobil travel yang mengantarkan kami langsung menuju Labuan Bajo, akhir pemberentian kami di flores.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts