MALAM
![]() |
Jovita membuat gambar ini guys! Lucu banget kaan? kalau mau pesen ilustrasi bisa langsung kontakin doi yah! (instagram : @Jovitachiara) |
Kapal membantingkan tubuhnya ke pelabuhan, terdengar keras dan nyaring suara benturan antar baja raksasa dan beton itu, riuh suara derap kaki, suara panggil memanggil bersahutan, ada yang melepaskan rindu dalam pelukan, manusia, suasana baru meyambut.
Kaki mengijakkan ditanah paling utara Indonesia, kami mencari tempat yang agak sepi, untuk merencanakan bagaimana kami istirahat malam ini. Kakak KOPASSUS menawarkan rumahnya, namun disela-sela obrolan ada seorang perempuan menghampiri, dengan kulit sawo matang sangat bagus dan mata yang berbinar dalam gelapnya malam, menawarkan kami untuk tinggal dirumahnya. Kak Ati namanya, kami berkenalan saat di pelabuhan.
Dalam obrolan yang tak tuntas, kami disuruh untuk ikut ke sebuah rumah, seraya berjalan kami mengobrol dengan warga yang baru turun juga. Semakin dalam kami berjalan, tersisa hanya kami saja, berhenti disebuah rumah, kami tahu tanpa diberitahu bahwa disini sedang berduka, seorang anggota keluarga pulang ke Rahim Pertiwi.
Rasa kantuk yang menghampiri, hilang seketika, saat seseorang tepat didepan muka kami mengintrograsi. Awalnya aku agak kesal dengan caranya menanyakan kami, antara ramah dan agak kaku. Aku pun ogah-ogahan menjawab melihat sikapnya yang begitu. Kami ditanya-tanya, kenapa kesini, ada kepentingan apa, dari mana, siapa, pokoknya kami di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang banyak, kami diminta juga untuk memperlihatkan KTP, dan Kartu Mahasiswa, karena kami berdalih untuk melakukan penelitian. Disini aku sudah mulai curiga karena KTP kami difoto satu persatu.
Setelah kami selesai kami dipersilahkan beristirahat. Aku baru tahu ternyata dari tadi kami diintrograsi, ah yasudahlah. Ada pesan yang masih kuingat dari Sang Intelijen Negara yang berperangai garang. “Disini perbatasan, jadi harus ada pengawasan khusus untuk orang baru seperti kalian, silahkan berstirahat”. Akhirnya selesai juga Interogasi yang secara tiba-tiba itu, meskipun suasana Interogasi yang tegang, kami masih sempat senyum-senyum dan bercanda, terutama Koga yang kadang bertanya dengan sedikit santai.
Kaki mengijakkan ditanah paling utara Indonesia, kami mencari tempat yang agak sepi, untuk merencanakan bagaimana kami istirahat malam ini. Kakak KOPASSUS menawarkan rumahnya, namun disela-sela obrolan ada seorang perempuan menghampiri, dengan kulit sawo matang sangat bagus dan mata yang berbinar dalam gelapnya malam, menawarkan kami untuk tinggal dirumahnya. Kak Ati namanya, kami berkenalan saat di pelabuhan.
Dalam obrolan yang tak tuntas, kami disuruh untuk ikut ke sebuah rumah, seraya berjalan kami mengobrol dengan warga yang baru turun juga. Semakin dalam kami berjalan, tersisa hanya kami saja, berhenti disebuah rumah, kami tahu tanpa diberitahu bahwa disini sedang berduka, seorang anggota keluarga pulang ke Rahim Pertiwi.
Rasa kantuk yang menghampiri, hilang seketika, saat seseorang tepat didepan muka kami mengintrograsi. Awalnya aku agak kesal dengan caranya menanyakan kami, antara ramah dan agak kaku. Aku pun ogah-ogahan menjawab melihat sikapnya yang begitu. Kami ditanya-tanya, kenapa kesini, ada kepentingan apa, dari mana, siapa, pokoknya kami di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang banyak, kami diminta juga untuk memperlihatkan KTP, dan Kartu Mahasiswa, karena kami berdalih untuk melakukan penelitian. Disini aku sudah mulai curiga karena KTP kami difoto satu persatu.
Setelah kami selesai kami dipersilahkan beristirahat. Aku baru tahu ternyata dari tadi kami diintrograsi, ah yasudahlah. Ada pesan yang masih kuingat dari Sang Intelijen Negara yang berperangai garang. “Disini perbatasan, jadi harus ada pengawasan khusus untuk orang baru seperti kalian, silahkan berstirahat”. Akhirnya selesai juga Interogasi yang secara tiba-tiba itu, meskipun suasana Interogasi yang tegang, kami masih sempat senyum-senyum dan bercanda, terutama Koga yang kadang bertanya dengan sedikit santai.
Ia sudah biasa rasanya dengan suasana seperti ini, waktu kecil ia pernah melihat Bapak didatangi dua oknum tantara dengan senjata lengkap ke rumah memerasnya, setelah itu Koga melihat bapaknya beberapa hari kemudian dimintai keterangan oleh polisi, dan riuhnya warga yang akan menghakimi Oknum tantara itu. Kata Bapaknya, “Seberapa tegang suananya, kamu hanya perlu sedikit tenang, untuk menguasai keadaan”.
Makanan yang tidak asing lagi dalam perjalananan ini, ikan dan nasi, itulah asupan sarapan, makan siang dan makan malam kami, untuk menyambung tenaga dalam perjalanan.
Matahari sudah menghangatkan tanah, itu pertanda untuk kami harus bersiap-siap untuk mengeksplorasi Pulau ini, kami berenenam mulai berjalanan, aku , Dimas, Jovita, Kak Ati, Kak Sepno dan Koga ini akan menjadi tim Jelajahi dihari ini, dilengkapi dengan dua parang yang mirip golok, untuk membuka jalan diperkebunan.
Disela-sela perjalanan kami mengobrol untuk mencairkan suasana, berbagai informasi menarik kami dapatkan, selain sejarah Pulau, Bahasa dan hal lainya, kami baru mengetahui bahwa Kak Ati merupakan Kepala Bandara Miangas, Kak Sepno pernah ikut Ekspedisi Nusantara ke Papua, dan yang paling membuat kami merasa bersyukur, adalah kami tinggal dirumahnya, keluarga yang secara turun terumun sepuhnya Pulau Miangas ini.
Aku dan Jovita sempat berbincang dengan kakeknya kak Ati, salah satu kepala desa terdahulu di Miangas. Beliau dengan senang hati menceritakan bagaimana dahulu legenda pulau Miangas ini. Dahulu di sebrang Filipina, hidup dua orang kakak beradik yang sedang meliat ke arah pulau Miangas ini, mereka melihat ada sesuatu bercahaya dari pulau ini. Akhirnya, mereka menggunakan sampan ke pulau. Setalah sampai di pulau, ternyata tidak berpenghuni. Mereka mengelilingi pulau, sampai akhirnya malam tiba. Mereka ingin kembali ke asalnya. Namun, sayang karena air pasang, kapal sudah hanyut entah kemana. Akhirnya kedua saudara itu tinggal di pulau, beranak pinak hingga sekarang. Wah, saat aku cari di google, legenda ini tidak ada sama sekali, agak sulit mencari info mengenai pulau Miangas. Tanggal 10 Desember 2018 sebuah pesan WA masuk, dari bang Sepno, “Banpaknya kak Adi udah meninggal”. Rasa sedih mengingat beliau sangat baik kepada kami. Semoga amal ibadah beliau diterima diisisi-Nya. Amin.
Siangnya kami minta ijin pada leluhur, aku lupa saat itu kami meminta ijin kesiapa. Pemberhentian kami pertama adalah Goa, yang dahulunya digunakan untuk tempat bersembunyi saat zaman perang, Goa yang lubang masuknya hanya satu dan sangat kecil sekali menjadi saksi bisu seberapa sadisnya perang, dahulu saat banyak warga bersembunyi disini, dan diketahui oleh tantara musuh, Goa ini dimasuk-masukan daun kelapa kering, lalu dibakar, banyak sisa-sisa tulang belulang Manusia yang menjadi Sang Pelaku Sejarah, suasana menjadi sunyi senyap, dingin ,haru, dan ada rasa amarah.
Wah sejurus kemudian kami “menyerahkan” Jovita di dermaga. Sembari merek berbincang ak tau apa yang dibincangkan. Ah yasudahlah. Masa remaja hahaha. Usut punya usut, Jovita bilang, ia ingin serius dengannya. Waduh, sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun sayang, Jovita tidak terpincut sama sekali. Padahal perawakan abang itu sudah mirip bapaknya film Parasite versi kurus dan lebih muda hahaha.
Menembus hutan, membungkuk menghindari ranting, agar tidak merusak alam, sebuah usaha untuk melihat peninggalan sejarah. Menuruni bukit dan menaiki kembali lainya, berjalanan perlahan gara tidak habis energi, sebuah usaha agar tidak kelelahan, karena Mercusuar menanti disana. Terpaan menyadarkan kami yang termenung diatas Mercusuar, bahwa kami sudah melakukan perjalanan sejauh ini, bukan saatnya melamun, saatnya bersuka cita dan berbahagia. Sekeliling sudut mata angin, sejauh mata memandang, tidak terlihat satu pulau pun, tapi kalau hari benar-benar cerah, dan awan diujung sana menghilang, Pulau Philpina terlihat katanya
Sebuah awal penjelajahan yang menyenangkan. Selepas menaiki bukit dan Mercusuar, kami mengunjungi Tanjung Wora, yang merupakan salah satu bagian kecil dari Pulau ini, yang sedikit terpisah, kami harus mengunjunginya saat air mulai surut.
Sebuah pulau kecil yang penuh dengan susunan karang, yang katanya merupakan peninggalan leluhur. Menaiki dan menuruni setiap jengkal pulau ini sangat perlu kehati-hatian, jika tidak, maka bersiaplah untuk berdarah, banyak karang tajam, untuk duduk saja kita perlu meraba-rabba mana yang aman. Dimas seperti biasa mengabadikan moment kami, dari posisi paling belakang, memotret kami berjalanan dan berduduk, ada kalanya beliau meminta untuk dipotretkan, karena kadang-kadang lelaki sejarang apapun difoto atau tidak narsis sama sekali, kalau menemukan spot spot tertentu yang membuat merasa pas, pasti akan meminta untuk diabadikan potrretnya. Sepulang Menjelajah, seperti biasa, Koga meminta dan mengambil pasir dari Alam, agar ada kenang-kenangan, bahwa ia pernah kesini, agar ada ikatan antara ia dan alam ini, agar ada bentuk fisik yang bisa menyadarkannya.
Membaur dengan masyarakat adalah hal yang sering kita lakukan, dipulau manapun, disini kami bermain sepak bola dan bola Volly disetiap sore hari, mengobrol dengan warga, sampai Koga kaget saat bermain bola banyak yang memanggil namanya untuk meminta bola, betapa dianggapnya kehadiran kami disini.
Di hari terakhir ini kami melihat pulau Filipina, diujung mata memandang. Beberapa hal yang selalu kami ingat. Yang kami lakukan adalah perjalanan tanpa berekspestasi lebih, tak peduli destinasi indah atau biasa saja, bagi kami indah itu relatif. Yang Kami lakukan adalah perjalanan arti, mengenali diri sendiri. Yang kami lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri. Yang Kami lalukan perjalanan dengan mendekat ke kehidupan sekitar, bukan pelesiran. Belajar membuka diri, belajar sejarah, budaya dan soaial. Bukan hanya sekedar tentang "aku, aku, aku".
Banyak hal baru yang kami dapat dalam perjalanan menuju kesini. Sekarang sudah saatnya kami pamit. Terimakasih Kak Adi, Kak Ati, Kak Sepno, Mbah tetua Adat, Bapak Kepala Desa, Sang Intelejen Negara dan semua Keluarga kami di Miangas. Semoga kita sehat, diberkahi selalu, dan semoga bisa bertemu lagi kelak dilain waktu.
Kami berempat pamit untuk pulang, berfoto-foto untuk kenang-kenangan bahwa kami pernah kesini. Pulang dengan Kapal Sabuk Nusantara 95 sebuah kapal yang terhitung baru, karena dapat terlihat dari fasilitas yang masih bagus, kami akan pulang dengan waktu yang lebih singkat, karena rute yang dilewati lebih sedikit. Namun eskpestasi hanyalah ekspestasi, kami terjebak badai semalaman, kapal berputar keluar dari rute semestinya, bahan bakar pun habis,Kapal menunggu kiriman bahan bakar, dan apa yang terjadi? Kami terdampar di Pulau Melonguane selama 3 hari, sampai kami sudah sangat bosan “Setelah ini kita melakukan apalagi ya?” Koga berbicara mengalir begitu saja “Ahahaha” Dimas hanya tertawa.
Ada kejadian lucu sekali. pernah diPagi hari aku dan Dimas hendak mebeli sarapan pagi. Pagi itu aku bingung kok tidak melihat Jovita. Akhirnya aku dan Dimas sempat makan di warung, allu membungkus nasi kuning untuk Jovita dan Koga. Koga yang waktu itu kami tinggalkan karena tidur, sekarang sudah bangun, tapi belum mandi. Kemana Jovita ya? Aku bertanya.Singkat cerita sekitar sejaman akhirnya aku ke toilet, mau mandi. Baru ku dengar suara Jovita. Ternyata dari tadi, DIA TERKUNCI DI TOILET!. Astaga, setelah berupaya dengan berbagai cara, akhirnya aku menyuruhnya untuk merangkak ke bawah pintu dan nantinya ia harus mandi lagi hahahah.
Asal kamu tahu, hampir semua hal pernah kami lalukan dari bercerita horror di deck Kapal, sampai Keliling Pulau, saat itu sangat membosanlan sekali untuk kami berempat. Seletah 3 hari kami berpindah Kapal, menaiki Kapal Swasta Holly Marry, dengan tiket yang sangat mahal berempat saja 1jt, berbeda dengan Sabuk Nusantara yang satu orang 35rb, memang kapal ini sangat cepat dan langsung menuju pelabuhan Manado.
Kami naik begitu saja, Koga & Dimas duduk di deck paling belakang, aku menunggui Jovita yang sakit. Saat kami ditagih tiket, Koga dan Dimas bersilat lidah, berdalih bahwa kami Mahasiswa yang melalukan survey dan dikuatkan dengan alasan Jo sakit, dan pada akhirnya menadapatkan tiket 500rb berempat, ahaha Ingatlah terkadang berdialog itu sangat berarti.
Pada hari itu juga kami berencana untuk balas dendam makan ayam di KFC, karena kemarin sudah lama hanya makan ikan dan segala jenis makanan laut, sebelum kita berencana ke KFC ada sebuah perundingan, apakah kita kan pulang hari ini atau besok, pada awalnya aku mengajak kami untuk ke Bunaken dahulu, namun tidak jadi. Sebenarnya aku sudhah menghitung jika saat itu kami tidak terdampar di Melonguane, mungkin saja kami bisa ke Bunaken dan masih bermain dengan teman-teman di Manado.
Di KFC kami berunding tentang sisa-sisa hari di Manado, dan apakah kita akan berlanjut ke Toraja, namun secara mengejutkan aku sudah memesan tiket untuk keberangkatan Sore ini, begitupun Jo, yang belum membeli tiket pulang adalah Dimas dan Koga. tak lama Dimas dipesankan tiket pulang, agar pulang Bersama ke Bali bertiga, Saya lebih memilih esok harinya, karena uang belum turun sama sekali, wkwkwk. Sore hari Koga mengantar aku, Dimas dan Jovita ke Bandara, juga diantar oleh kawan-kawan Manado yang sebelumnya mengobrol ringan tentang perjalanan dulu di Universitas Sam Ratulangi.
Jujur, aku tidak tahu ternyata teman-teman Manado membuat acara perpisahan untuk kami. Wah rasanya aku bersalah banget karena langsung saja membeli tiket. Maafkan aku ya kawan-kawan. Suatu hari nanti kita jumpa kembali. Sedih mengingat perpisahan yang terasa begitu cepat. Tapi disatu sisi ada alasan yang kuat saat itu. Kami tinggal satu nyawa lagi untuk membolos studio hahahah. Aku yang masih takut sama Bapak lantaran di Miangas aku ditelpon. Bapak terkejut kalau aku tidak pulang-pulang. Bapak marah besar, Sudah sebulan lebih perjalanan. Hahhaha rasanya bila mengingat masa-masa itu, aku terharu dan ingat masa-masa kuliah. Alhamdulillahnya karena nyawa saat itu masih terkumpul, jadilah kami selamat dan bisa melanjutkan ke jenjang skripsi tanpa harus menunggu setahun lagi.
Koga, Jovita, Aku dan Dimas. |
MIANGAS PAGI
Kabut pagi menyelinap ke dalam rumah, Koga keluar untuk melihat-lihat tempat yang kami idam-idamkan untuk dipijak. Tak lama Dimas bergabung berjalan keluar dengan kamera “Olympus” tipe OM-D E-M10 mark II sepertinya, yang selalu menggantung dengan aman dipundaknya. Jadi banyak foto dalam postingan blog ini hasil jepretan dari Dimas. Memang pada awalnya aku tidak membawa kamera, dan sebenarnya pada perjalanan ini ada dua kamera, satu punya Dimas yang bertugas untuk mengabadikan moment dengan potret, sedangkan satu nya lagi punya Jovita yang dipercayakan ke Koga, yang akan digunakan untuk menangkap gerak. Membuat Dokumenter sepanjang perjalanan, namun saat disebuah Café di Manado, kamera yang Koga pegang dimintai batrenya untuk dicharge oleh Jovita di Kostnya Kitin. Koga sempat menolak untuk meberikanya “nanti saja dijalan, takut lupa” pikirnya, namun Jovita tetap meminta sampai terjadi gesekan seperti antar sumbu magnet, ahaha
Memang, seperti yang aku ceritakan sebelumnya disini. Pada akhirnya Jovita lupa membawa Batre itu dan entah dimana sampai sekarang, Jovita kesal dengan keteledoranya sendiri, dan semakin menjadi saat Koga goda dengan membahas Kamera dan Batre bersama aku & Dimas. Memang manusiawi kita lupa, karena kenapa? Karena kita manusia. Jadi kami melupakan itu, dan tetap mendokumentasikan apapun dengan ponsel pribadi, ya meskipun Koga akhirnya membawa kamera jauh-jauh sampai Miangas, yang tidak dipakai sama sekali, ingin rasanya berkata “Ini kenapa kita bawa ya Jo?” ahaha
Pagi itu, kami harus
menghadap kepala desa, dan berbincang banyak dengan beliau. Kami berbincang
mengenai banyak hal, salah satunya ialah menjadi pemimpin yang baik. Bagaimana
Miangas di tiga periode kedepan yang akan menjadi tempat wisata. Dalam pikiranku, aku
seolah dilema. Antara ingin Miangas banyak dikenal orang dan banyak yang
mengunjunginya, sehingga perputaran ekonomi di pulau ini bisa cepat, atau
memikirkan efek samping dari pariwisata, hilangnya akar budaya bila tidak
dipegang teguh dengan baik. Kemungkinan bisa keduanya, namun lambat laun efek apa yang sebenarnya akan terjadi pada Miangas? tidak ada yang tahu.
Kami juga bertemu dengan
orang-orang nusantara sehat. Ternyata mereka sedang bertugas di lain pulau
sehingga untuk hari-hari terakhirnya mereka memilih untuk berlibur sebentar di
Miangas, dan juga meminta ijin dengan kepala desa. Pak Mangku namanya, usut
punya usut, ia bercerita mengenai pemuda Ansor, aku tidak tahu itu organisasi
apa. Menurut ceritanya, pemuda-pemuda tersebut ingin mengadakan acara di
Miangas, untuk merayakan 17 agustusan, membawa bendera dan berfoto di bandara
miangas. Namun, mereka tidak ingin menunggu seminggu untuk pulang ke Manado.
Nah, karena di Miangas
penerbangan hanya ada seminggu sekali yaitu di hari Minggu kalau tidak salah,
dan hanya ada sekali di hari itu. Alias, paginya nyampe sejam kemudian sudah harus berangkat. Maka dari itu mereka
meminta untuk pesawat menunggu mereka turun dan mengadakan upacara bendera,
berfoto di lapangan bandara dan akhirnya kembali ke Manado hari itu juga.
Banyak yang menjadi kelimpungan akibat ulah mereka kata pak Mangku. Pesawat
tidak bisa menunggu karena mereka ada jadwal khusus. Mereka memaksa bahkan
pramugari mendapat kekerasan dari mereka. Manusia memang egois, pikirku.
Suasana yang masih sepi dan angin mengantarkan kembali ke rumah yang kami tinggali berempat, sebuah rumah putih dengan atap Alumunium, nampaknya ini punya Bapak muda yang fotonya terpajang di dinding, Kak Adi, ia lebih senang dipanggil begitu. Beliau sering mengajak kami mengobrol disisa-sisa malam atau diawal-awal pagi, wajah dan sifat baiknya terpatri disini, dalam hati, mana mungkin melupakan kebaikan yang memang sangat baik.JELAJAH
Sambutan hangat perempuan berkulit coklat dan mata berbinar, mengajak kami mengobrol seraya berencana untuk mengelilingi Pulau Miangas disiang hari.Makanan yang tidak asing lagi dalam perjalananan ini, ikan dan nasi, itulah asupan sarapan, makan siang dan makan malam kami, untuk menyambung tenaga dalam perjalanan.
Matahari sudah menghangatkan tanah, itu pertanda untuk kami harus bersiap-siap untuk mengeksplorasi Pulau ini, kami berenenam mulai berjalanan, aku , Dimas, Jovita, Kak Ati, Kak Sepno dan Koga ini akan menjadi tim Jelajahi dihari ini, dilengkapi dengan dua parang yang mirip golok, untuk membuka jalan diperkebunan.
Disela-sela perjalanan kami mengobrol untuk mencairkan suasana, berbagai informasi menarik kami dapatkan, selain sejarah Pulau, Bahasa dan hal lainya, kami baru mengetahui bahwa Kak Ati merupakan Kepala Bandara Miangas, Kak Sepno pernah ikut Ekspedisi Nusantara ke Papua, dan yang paling membuat kami merasa bersyukur, adalah kami tinggal dirumahnya, keluarga yang secara turun terumun sepuhnya Pulau Miangas ini.
Aku dan Jovita sempat berbincang dengan kakeknya kak Ati, salah satu kepala desa terdahulu di Miangas. Beliau dengan senang hati menceritakan bagaimana dahulu legenda pulau Miangas ini. Dahulu di sebrang Filipina, hidup dua orang kakak beradik yang sedang meliat ke arah pulau Miangas ini, mereka melihat ada sesuatu bercahaya dari pulau ini. Akhirnya, mereka menggunakan sampan ke pulau. Setalah sampai di pulau, ternyata tidak berpenghuni. Mereka mengelilingi pulau, sampai akhirnya malam tiba. Mereka ingin kembali ke asalnya. Namun, sayang karena air pasang, kapal sudah hanyut entah kemana. Akhirnya kedua saudara itu tinggal di pulau, beranak pinak hingga sekarang. Wah, saat aku cari di google, legenda ini tidak ada sama sekali, agak sulit mencari info mengenai pulau Miangas. Tanggal 10 Desember 2018 sebuah pesan WA masuk, dari bang Sepno, “Banpaknya kak Adi udah meninggal”. Rasa sedih mengingat beliau sangat baik kepada kami. Semoga amal ibadah beliau diterima diisisi-Nya. Amin.
Siangnya kami minta ijin pada leluhur, aku lupa saat itu kami meminta ijin kesiapa. Pemberhentian kami pertama adalah Goa, yang dahulunya digunakan untuk tempat bersembunyi saat zaman perang, Goa yang lubang masuknya hanya satu dan sangat kecil sekali menjadi saksi bisu seberapa sadisnya perang, dahulu saat banyak warga bersembunyi disini, dan diketahui oleh tantara musuh, Goa ini dimasuk-masukan daun kelapa kering, lalu dibakar, banyak sisa-sisa tulang belulang Manusia yang menjadi Sang Pelaku Sejarah, suasana menjadi sunyi senyap, dingin ,haru, dan ada rasa amarah.
Setelahnya Jalan ke goa kamenanga. Setelahnya kami berjalan melihat sumber mata air. Lalu melihat meriam bekas peninggalan masa kolonial , melihat tempat keramat, tidak sembarangan orang bisa melihat artefak itu. Kami melanjutkan perjalanan ke satu-satunya mercusuar yang ada pada pulau Miangas,berdiri sangat tinggi. Setelahnya makan kedondong sambil jalan. Sore hari kami bermain volly bersama warga sekitar, ah indahnya. Sore yang sangat santai, semua warga keluar dan bermain volly bersama. Andai di dekat rumahku bisa seperti itu.
Ada yang lucu kala itu, Seorang pemuda berbadan tinggi, kekar, khas Miangas menyamperin kami. Ternyata ia adalah seorang atlet Volly nasional Indonesia kalau tidak salah, sempat mengikuti pelatihan di Jakarta. Ia naksir Jovita!
Wah sejurus kemudian kami “menyerahkan” Jovita di dermaga. Sembari merek berbincang ak tau apa yang dibincangkan. Ah yasudahlah. Masa remaja hahaha. Usut punya usut, Jovita bilang, ia ingin serius dengannya. Waduh, sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun sayang, Jovita tidak terpincut sama sekali. Padahal perawakan abang itu sudah mirip bapaknya film Parasite versi kurus dan lebih muda hahaha.

Mercusuar itu berdiri tinggi sekali.

Masuk ke dalam mulut goa yang sangat sempit, harus merangkak terlebih dahulu.
Diatas mercusuar, Tanjung Bora. |
Meriam yang katanya sempat dicuri dan menyebabkan kapal oleng. |
Dalam Goa. |
Dimas, Koga, Jovita, Bang Sepno dan Kak Ati. |
Breathtaking view menuju mercusuar. |
JELAJAH UTARA
Naik turun kami berjalanan membelah kebun & hutan, dipimpin Kak Ati dengan didampingi Kak Sepno, perjalanan yang lumayan menghabiskan energi, panas menyengat diatas ubun-ubun, keringat membasahi tubuh, keluar di setiap jengkal kulit kami. Menaiki terjalnya bebatuan, merangkak tanpa sandal, agar kaki benar-benar berpijak, sebuah usaha menggapai puncak bebatuan, untuk melihat salahh satu sudut pulau ter-Utara ini.Menembus hutan, membungkuk menghindari ranting, agar tidak merusak alam, sebuah usaha untuk melihat peninggalan sejarah. Menuruni bukit dan menaiki kembali lainya, berjalanan perlahan gara tidak habis energi, sebuah usaha agar tidak kelelahan, karena Mercusuar menanti disana. Terpaan menyadarkan kami yang termenung diatas Mercusuar, bahwa kami sudah melakukan perjalanan sejauh ini, bukan saatnya melamun, saatnya bersuka cita dan berbahagia. Sekeliling sudut mata angin, sejauh mata memandang, tidak terlihat satu pulau pun, tapi kalau hari benar-benar cerah, dan awan diujung sana menghilang, Pulau Philpina terlihat katanya
Sebuah awal penjelajahan yang menyenangkan. Selepas menaiki bukit dan Mercusuar, kami mengunjungi Tanjung Wora, yang merupakan salah satu bagian kecil dari Pulau ini, yang sedikit terpisah, kami harus mengunjunginya saat air mulai surut.
Sebuah pulau kecil yang penuh dengan susunan karang, yang katanya merupakan peninggalan leluhur. Menaiki dan menuruni setiap jengkal pulau ini sangat perlu kehati-hatian, jika tidak, maka bersiaplah untuk berdarah, banyak karang tajam, untuk duduk saja kita perlu meraba-rabba mana yang aman. Dimas seperti biasa mengabadikan moment kami, dari posisi paling belakang, memotret kami berjalanan dan berduduk, ada kalanya beliau meminta untuk dipotretkan, karena kadang-kadang lelaki sejarang apapun difoto atau tidak narsis sama sekali, kalau menemukan spot spot tertentu yang membuat merasa pas, pasti akan meminta untuk diabadikan potrretnya. Sepulang Menjelajah, seperti biasa, Koga meminta dan mengambil pasir dari Alam, agar ada kenang-kenangan, bahwa ia pernah kesini, agar ada ikatan antara ia dan alam ini, agar ada bentuk fisik yang bisa menyadarkannya.
Membaur dengan masyarakat adalah hal yang sering kita lakukan, dipulau manapun, disini kami bermain sepak bola dan bola Volly disetiap sore hari, mengobrol dengan warga, sampai Koga kaget saat bermain bola banyak yang memanggil namanya untuk meminta bola, betapa dianggapnya kehadiran kami disini.
Aku dan Dimas yang bermain Volly pun juga sama, hanya Jovita yang duduk-duduk melihat kami bermain dengan masyarakat, seraya mengobrol dan memotret. Seakan bukan ditempat yang asing, karena kami tidak mengasingkan diri. Mahasiswa dan Mahasiswi yang mengkuti program Nusantara Sehat, ada beberapa yang bergabung juga bermain Bersama, kami berkenalan dan mengobrol. Kami dipersilahkan makan dirumah warga, yang sedang menggelar acara. Banyak hal indah yang tidak terabadikan dalam bentuk potret lensa, hanya teringat dalam pikiran dan hati.
Berjalan lebih jauh. |
Melihat lokasi kegiatan Manami dari atas. |
Berjalan sambil makan kedondong |
Lampu mercusuar. |
Tugu dekat dengan camp TNI. |
Pelabuhan Miangas. |
Sabuk Nusantara yang bersandar. |
Melihat Karang yang indah. |
Jalan menuju Tanjung Wora. |
Menuju Tanjung Wora. |
Ibu-ibu menghabiskan waktu bermain permaianan papan. |
PULANG
4 hari ditanah ujung Utara Indonesia ini, kami tinggal. Diselingi cuaca cerah dan hujan badai, kegiatan outdoor dan hanya tiduran seraya membaca bukuDi hari terakhir ini kami melihat pulau Filipina, diujung mata memandang. Beberapa hal yang selalu kami ingat. Yang kami lakukan adalah perjalanan tanpa berekspestasi lebih, tak peduli destinasi indah atau biasa saja, bagi kami indah itu relatif. Yang Kami lakukan adalah perjalanan arti, mengenali diri sendiri. Yang kami lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri. Yang Kami lalukan perjalanan dengan mendekat ke kehidupan sekitar, bukan pelesiran. Belajar membuka diri, belajar sejarah, budaya dan soaial. Bukan hanya sekedar tentang "aku, aku, aku".
Banyak hal baru yang kami dapat dalam perjalanan menuju kesini. Sekarang sudah saatnya kami pamit. Terimakasih Kak Adi, Kak Ati, Kak Sepno, Mbah tetua Adat, Bapak Kepala Desa, Sang Intelejen Negara dan semua Keluarga kami di Miangas. Semoga kita sehat, diberkahi selalu, dan semoga bisa bertemu lagi kelak dilain waktu.
KEMBALI
Kami berempat pamit untuk pulang, berfoto-foto untuk kenang-kenangan bahwa kami pernah kesini. Pulang dengan Kapal Sabuk Nusantara 95 sebuah kapal yang terhitung baru, karena dapat terlihat dari fasilitas yang masih bagus, kami akan pulang dengan waktu yang lebih singkat, karena rute yang dilewati lebih sedikit. Namun eskpestasi hanyalah ekspestasi, kami terjebak badai semalaman, kapal berputar keluar dari rute semestinya, bahan bakar pun habis,Kapal menunggu kiriman bahan bakar, dan apa yang terjadi? Kami terdampar di Pulau Melonguane selama 3 hari, sampai kami sudah sangat bosan “Setelah ini kita melakukan apalagi ya?” Koga berbicara mengalir begitu saja “Ahahaha” Dimas hanya tertawa.
Ada kejadian lucu sekali. pernah diPagi hari aku dan Dimas hendak mebeli sarapan pagi. Pagi itu aku bingung kok tidak melihat Jovita. Akhirnya aku dan Dimas sempat makan di warung, allu membungkus nasi kuning untuk Jovita dan Koga. Koga yang waktu itu kami tinggalkan karena tidur, sekarang sudah bangun, tapi belum mandi. Kemana Jovita ya? Aku bertanya.Singkat cerita sekitar sejaman akhirnya aku ke toilet, mau mandi. Baru ku dengar suara Jovita. Ternyata dari tadi, DIA TERKUNCI DI TOILET!. Astaga, setelah berupaya dengan berbagai cara, akhirnya aku menyuruhnya untuk merangkak ke bawah pintu dan nantinya ia harus mandi lagi hahahah.
Asal kamu tahu, hampir semua hal pernah kami lalukan dari bercerita horror di deck Kapal, sampai Keliling Pulau, saat itu sangat membosanlan sekali untuk kami berempat. Seletah 3 hari kami berpindah Kapal, menaiki Kapal Swasta Holly Marry, dengan tiket yang sangat mahal berempat saja 1jt, berbeda dengan Sabuk Nusantara yang satu orang 35rb, memang kapal ini sangat cepat dan langsung menuju pelabuhan Manado.
Kami naik begitu saja, Koga & Dimas duduk di deck paling belakang, aku menunggui Jovita yang sakit. Saat kami ditagih tiket, Koga dan Dimas bersilat lidah, berdalih bahwa kami Mahasiswa yang melalukan survey dan dikuatkan dengan alasan Jo sakit, dan pada akhirnya menadapatkan tiket 500rb berempat, ahaha Ingatlah terkadang berdialog itu sangat berarti.
Memotret burung Dara-laut Tiram atau Sterna Nilotica dari atas kapal.. |
BERPIJAK
Fajar diufuk timur menyambut kami di pelabuhan Manado, kami melalui sepanjang jalur Laut Sulawesi Utara, salah satunya Bunaken, langit yang berwarna jingga, bias cahaya Fajar. Bulan masih enggan untuk berganti, ia masih ada diatas kami, begitu juga bintang-bintang, sebuah pemandangan yang indah.Pada hari itu juga kami berencana untuk balas dendam makan ayam di KFC, karena kemarin sudah lama hanya makan ikan dan segala jenis makanan laut, sebelum kita berencana ke KFC ada sebuah perundingan, apakah kita kan pulang hari ini atau besok, pada awalnya aku mengajak kami untuk ke Bunaken dahulu, namun tidak jadi. Sebenarnya aku sudhah menghitung jika saat itu kami tidak terdampar di Melonguane, mungkin saja kami bisa ke Bunaken dan masih bermain dengan teman-teman di Manado.
Di KFC kami berunding tentang sisa-sisa hari di Manado, dan apakah kita akan berlanjut ke Toraja, namun secara mengejutkan aku sudah memesan tiket untuk keberangkatan Sore ini, begitupun Jo, yang belum membeli tiket pulang adalah Dimas dan Koga. tak lama Dimas dipesankan tiket pulang, agar pulang Bersama ke Bali bertiga, Saya lebih memilih esok harinya, karena uang belum turun sama sekali, wkwkwk. Sore hari Koga mengantar aku, Dimas dan Jovita ke Bandara, juga diantar oleh kawan-kawan Manado yang sebelumnya mengobrol ringan tentang perjalanan dulu di Universitas Sam Ratulangi.
Jujur, aku tidak tahu ternyata teman-teman Manado membuat acara perpisahan untuk kami. Wah rasanya aku bersalah banget karena langsung saja membeli tiket. Maafkan aku ya kawan-kawan. Suatu hari nanti kita jumpa kembali. Sedih mengingat perpisahan yang terasa begitu cepat. Tapi disatu sisi ada alasan yang kuat saat itu. Kami tinggal satu nyawa lagi untuk membolos studio hahahah. Aku yang masih takut sama Bapak lantaran di Miangas aku ditelpon. Bapak terkejut kalau aku tidak pulang-pulang. Bapak marah besar, Sudah sebulan lebih perjalanan. Hahhaha rasanya bila mengingat masa-masa itu, aku terharu dan ingat masa-masa kuliah. Alhamdulillahnya karena nyawa saat itu masih terkumpul, jadilah kami selamat dan bisa melanjutkan ke jenjang skripsi tanpa harus menunggu setahun lagi.
Bersama teman-teman di Manado. |
Pejalanan yang sungguh bebas. |
Akhirnya, Kami pulang.
Cerita sudah selesai. Banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah menemani kami dalam perjalanan ini. Rasa kekeluargaan yang kami rasakan sungguh luar biasa, mau kenal tidak kenal . Pada akhirnya torang semua bersaudara. Hal-hal menyenangkan lainnya tanpa disadari akan berlanjut hingga kami sampai Miangas pun sebaliknya. Tunggu cerita selanjutnya ya!
Spread the Love!
Alya.
Spread the Love!
Alya.