SENDA , AKHIRNYA, OBROLAN

May 03, 2020

SENDA

Marampit, rasanya seperti mengobati rasa kekecewaan kami, seakan kami lupa bahwa sebenarnya tujuan utama kita Miangas, Ujung Utara Indonesia. Iya, Kak Ovie sangat tahu bahwa kami merasa kecewa karena tidak sampai ke Miangas meskipun sudah berusaha sampai berpindah Kapal.

Koga pulang pergi menjemput menggunakan motor yang lumayan sudah tua. Adik Kak Ovie yang pertama diantar pulang, agar koga tahu dimana rumah Kak Ovie. Pulau dengan insfrastruktur jalan yang cukup bagus, ia menjalankan laju motor pelan, untuk merasakan udara dan suasana sekitar. Senyum ramah masyarakat merekah disamping jalan. Deretan rumah yang sedikit jarang-jarang, dipisahkan oleh Kebun. Sekolah dan Gereja, dengan suasana Desa Nelayan.

“Disini Jo, motor tidak boleh lewat kesana katanya, kamu jalan saja kesana sendiri ya sekitar 5 meter kedepan untuk kerumah Kak Ovie, Saya jemput yang lain”

Koga memberhentikan Motor disamping rumah. Jo baru saja berjalan sedikit kedepan, ada suara memanggil “Jooo, disini” ternyata Kak Ovie memanggil, niat Koga menjahili Jo pun sirna, ahaha

Trik rumah Kak Ovie 5 meter didepan juga Koga terapkan ke aku dan Dimas, dan hampir tertipu, memang dasar Koga gatal rasanya kalau satu hari tidak jahil atau tidak bercanda, untung saja kawan ini sabar & mengerti. Perkenalan Kami dengan Suami, dan Keluarga Kak Ovie, sungguh menyenangkan ternyata Kak Novli pandai bercanda. Dibalik perangainya yang garang, begitu juga Ito dan adik perempuanya.

Matahari sudah mulai bersembunyi dibalik awan kami diajak untuk berenang dimata air, namun itu hanya sebuah rencana, karena air yang surut kami berpindah ke laut.

“BYYYUUUR” Kak Ovie & adiknya melompat, diikuti oleh Alya, terus Dimas, Jo dan Koga masih diatas Pelabuhan, kami dipaksa turun. Tiba-tiba Jo melompat, hanya Saya yang tidak berenang, karena stok pakaian habis, selain itu juga ombak besar menderu, kedalaman 20 sampai 30 meter, Dimas & Jo yang baru saja turun tiba- tiba kelelahan berenang, dibantu Ito naik kedarat, dengan medan yang harus melewati yaitu karang-karang tajam, kaki Dimas berdarah-darah oleh karang, ini bukan berenang di Pantai, tapi di Laut lepas, membuat Koga semakin tidak mau untuk ikut bergabung.

Ada pengalaman lucu disini. Jadi aku sama kak Ovie janjian untuk melompat bersama, tapi aku ingin becandain kak Ovie untuk lompat terlebih dahulu, setelahnya baru aku lalu Dimas yang melompat. Hahahah selama ini kukira Dimas sangat pandai berenang jika di sungai. Anehnya saat di pelabuhan, Dimas tidak bisa menaikan badanya, seperti berat. Aku bilang ke dia, “Dim, coba ngambangin badanmu biar bisa ngapung”. Tetap tidak bisa, akhirnya aku bawa dimas ke bawah pelabuhan dimana ada besi yang bisa tertambat disana. Agak ngeri juga karena banyak kerang-kerang menempel di tiang beton pelabuhan dan kalau kena kulit bisa terbeset dan berdarah. Mau tidak mau, kami akhirnya berlatih untuk berenang disana dengan ombak yang aku akui cukup besar hahah.

Aku akui, kalo masalah gunung Dimas jagonya, dan ia biasanya menyemangati aku untuk tetap jalan. Sekarang saatya di laut aku menyemangati dia untuk tetap berenang hahaha. Dunia lucu ya, masing-masing menurutku punya keahliannya masing-masing dan ga semua orang harus sama. Tapi karena perbedaan itu, akhirnya kita bisa mengemangati satu sama lain untuk tetap terus terbiasa dengan ketidakbiasaan.




Sore Ceria.


Pulau Marampit
Aku dan Kak Ovie berenang di laut lepas. Kalo hanyut antara balik ke Manado ato nyampe ke Filipina.



Melihat reruntuhan dermaga yang hancur karena badai tadi malam.

Pulau Marampit
Koga, Jovita, Dimas, aku dan Ito

Pulau marampit


Pulau Marampit
Di tengah jalan melihat bapak-bapak lagi membuat kapal.

Pulau Marampit
Handmade cuy



Pulau marampit
Salah satu kearifan lokal nih guys. 


Keinsengan mengikat jovita pada tiang jemuran :)

AKHIRNYA

Kami melangkah pulang ketika Matahari sudah meredup, bergiliran untuk mandi di Rumah, selepasnya selesai kami bakar-bakara ikan yang didapat dari perjuangan Kak Nopli, Free Dive untuk menembak, apa yang didapat?
Ternyata Ikan yang banyak, Sotong yang besar, serta dua lobster, sebuah makanan yang mewah disaat perjalanan seperti ini. Seraya mebakar ikan, Sotong dan Lobster kami mengobrol, bagaimana kita berempat berjumpa satu sama lain, berjumpa dengan Kak Ovie yang menyangka Aku, Dimas & Jo adalah sebuah Keluarga, ahaha, berbagi sebatang rokok yang merknya tidak Familiar.Ternyata Kak Nopli merupakan salah satu warga yang paling Mahir Free Dive, setelah Ayahnya. Aku sering bertanya kepada beliau tentang hal—hal di Laut, menurut beliau semua ikan di laut bisa dimakan, tapi bagaimana tergantung kita bisa mengolahnya, beliau banyak bercerita tentang pengalaman dilaut dan bagaimana Bertani Kopra (Kelapa).

17 September 2018

Esoknya fajar menyapa ditimur Marampit, kami diajak untuk bermain keatas bukit oleh Ito, ada sebuah taman kecil dengan monument Salib yang begitu besar, kami bermain disana seraya melihat sekeliling Pulau

Pukul 12.00 Kapal Sabuk Nusanta bersandar di Marampit, kapal yang sudah kami tinggalkan karena tidak akan sampai ke Miangas, ternyata berubah, setelah kami dengar-dengar Kapal ini akan berlayar ke Tujuan Akhir “Miangas”. Bang Anto yang sebelumnya kami ketemui di Fery, sempat turun dari kapal untuk numoang mandi di rumah kak Ovie. 

Wajah Jovita, Dimas dan Koga tidak menutup kebahagiaan bahwa masih ada kemungkinan untuk kami berangkat ke Miangas. Kami bergegas untuk menaiki Kapal kembali, pertemuan dan perpisahan yang terlau sebentar, namun dimoment yang tepat bagi Kami Bersama Keluarga di Marampit ini, kami sebenaranya besedih, namun Keluarga ini selalu bercanda, dengan celotehan-celotehan Kak Ovie & Nopli yang terkadang konyol, kami berangkat dengan perasaan Bangga, karena Akhirnya bisa berlajar ke Miangas ujung Utara Indonesia, lambaian tangan dipelabuhan mengantarkan kami melaju menuju Utara.

Pertemuan dan perpisahan, kali ini aku berkontemlasi, mengambil hhikmah dari sebuah cerita. Aku tidak akan menyangkal, sulit rasanya untuk perpisahan kembali. Kita juga tidak tahu siapa yang kia temukan, dijalan, hanay sebatas perkenalan, membuat kami dan Kak Ovie juga keluarganya begitu dkat. Mendengat cerita adik Kak Ovie yang meninggal karena kecelakaan di jalan yang kami pernah lewati saat baru sampai di Miangas. Ketabahan terlihat dari raut wajak Kak Ovie, suami dan adik-adiknya. Dengan menccoba tersenyum, kak Ovie cerita kalau adiknya dulu sangat suka mendengat lagu bondan prakoso dan Fadde2Black. 

Aku dan Ito sempat bernyanyi lagu pulau marampit, lirik lagunya sangat menggugah hati :

Pulau kecil di ujung utara

Bibir pasifik indonesia

Kaya sumber alam-nya

Kental budaya dan adat-nya

        Bukit karang pasir dan samudera

        Rempah-rempah ikan dan kelapa

        Pulau dengan sejuta senyuman

        Bagai bunga yg bermekaran

Reef

Ohh.. pulau MARAMPIT

Betapa aku cinta KAU

Tak akan perna berpaling

Slama-nya slalu di hati

        Meski badai datang

        Walau bumi terbela

        Aku ttp darahmu

        Atas nama INDONESIA

Ditulis anak-anak KKN yang sempat singgah di pulau Marampit. Oh iya ternyata Ito, ada rasa ke Jo, kami tahu saat pulang, Ito selalu mengubungi Jo dengan perasaan layaknya sesorang yang sedang jatuh cinta ahaha.

Semoga kelak kita bisa berjumpa lagi dan semoga sehat selalu, Keluarga kami di Marampit.




Tugu Salib di pulau Marampit.


Kapal sabuk yang datang ke pulau Marampit.


Pulau Marampit
Naik keatas bukit. 



Pulau Marampit
Sebelum berangkat.

Pelabuhan Mearampit

Pulau Marampit
Ceileh joop joop 


Pulau Marampit
Dimas, Koga, Aku, Jovita,Bang Nopli, Kak ovie, dan Ito.


OBROLAN

Semua yang berasal dari laut (akan) kembali ke laut.

Penggalan kalimat pembuka ini dipetik dari karya maestro Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi.

Kami berlayar dengan kebanggaan, senyum yang lepas dari Aku & Jo, tatapan yang menggambarkan ketangguhan mimpi dari Dimas & Koga. Berlayar yang menghabiskan waktu 8 jam, kami membunuh waktu dengan mengobrol di atap Deck Kapal, yang sangat jarang siapapun naik kesini, mengobrol kesana kemari, memakan pisang yang dibeli dengan tawar menawar, dan meminun teh manis dengan harga Yahudi.

Sebuah obrolan gila terbahas, apakah perjalanan ini akan berlanjut ke Sulawesi Selatan, dengan menjelajah Toraja dan Makasar, sampai kita berpikir untuk berlanjut ke Maluku, dengan mengorbankan perkuliahan kami selama satu Semester, alangkah menyenangkanya itu jika terjadi. Terasa semkin liar mimpi dan ide gila ini. Obrolan ini keluar karena kami sudah mengorbankan Kuliah selama 3 minggu, bahkan Jo mengorbankan menjadi panitia IMF yang sangat dia idam-idamkan, Dimas mengompori kami, beliau sangat tidak peduli lulus telat atau bagaimana, sama seperti Koga, aku memilih untuk pulang, karena jika perjalanan gila ini terjadi dia tidak takut tidak akan diijinkan untuk berpetualangan lagi. Begitu juga Jo, namun saat itu Koga memilih untuk pulang, dengan keuangan yang sangat sudah menipis.

Air laut tenang, Aku, Dimas & Jo memilih untuk turun, membaca buku dan tidur, hanya Koga yang masih berdiam diri diatas, merasakan angin laut, mendengar debur ombak, & melihat sekeliling yang semuanya laut, tak ada daratanpun di sekeliling mata memandang, ini adalah laut lepas yang memang lepas. Ada Imajinasi yang sangat tidak perlu, menghampiri datang “Bagaiamana jika Kapal ini tenggelam karena Badai? Ini tidak ada daratan sekalipun, akankah kita selamat? Jika kita tenggelam, Saya yakin akan susah ditemukan, berapa dalam lautan lepas ini? 100 meter? 500 meter? 1000meter? Entahlah, semoga itu tidak terjadi”, pikirnya.

Kamu tahu pada sebuah kapalnya NH. Dini? Ceritanya kubaca setelah pulang dari Miangas. Aku jadi ingat tentang seorang ABK di kapal Sabuk Nusantara 38.

Aku sempat melihat seorang ABK yang gagah, menggunakan pakaian dinasnya, memegang HT dan menginstruksikan anak buah lainnya untuk mengatur pengangkutan. Tidak tahu mengapa tapi ia terlihat gagah ketika berkacak pinggang. Kurasa ia lebih tua barang 2 sampai 3 tahun diatasku. Aku sempat melihat kearahnya dari bangunan atas, ia dibawah bagian geladak utama, sepertinya ia tahu aku memperhatikannya. Rasanya pelaut memang gagah dimataku. Tapi apa sanggup ditinggal sebulan atau bahkan enam bulan untuk berlayar? Aku hanya cukup bisa mengaguminya dari jauh tanpa bisa berkenalan dengannya hahah.
Pulau Marampit
Itu guys, yang baju merah jangan sampai lepas. Ini iseng diem-diem fotoin doi, apaseh al. Gilak, dari belakang udah gagah kan gais, apalagi dari depan wkwkwk. (ini aku baru ubek-ubdek hasil foto gais, satu-satunya foto yang ada doi hue)  
Ada hal yang lebih lucu lagi mengenai perjalanan ini. Aku sedang berjalan melihat-lihat isi kapal, apakah ada yang berubah? Penumpangnya barangkali, suasananya. Ah sama saja, pikirku. Aku bertemu seorang pemuda, tapi menurutku sudah umuran 27 sementara aku masih 20.

“Mau berlayar kemana mba?”, Tanyanya kepadaku.

“Oh mau ke Miangas mas”, aku mencoba untuk ramah. Lalu hendak bergegas turun ke tengah kapal.

“Kenalin, Adam” seraya mengulurkan tangan kepadaku.

“Alya”, jawabku sambil menjabat tangannya. Lama. Bukan aku yang menahan, tetapi dia yag sengaja melamakan perkenalan ini, dengan basa-basi yang ada. Akhirnya ia lepaskan tanganku.

“Oh begitu, itu sama teman-teman ya?”, tanyanya.

“Iya, kami baru singgah dari Marampit” , jawabku sudah tidak nyaman dengan gelagatnya.

“Yang tinggi pake kumis itu pacarmu?”, ia bertanya, semakin tidak nyaman.

“HAH?” , sontak aku kaget.

“Oh bukan, itu Dimas, teman kuliah saya”, aku ingin sekali kabur, tapi tidak enak. Bukannya gimana ya gengs, tapi aku sangat takut tidak sopan terlebih lagi dengan orang-orang lokal. Aku mencoba untuk menahan agar percakapan ini cepat selesai.

“Bagi nomormu boleh ya?”

Wah ambyar. Terpaksa aku ngasih nmor ku yangsalah, tapi dia mencoba menelpon didepanku, aku tetap tidak bisa kabur.

“Eh salah ya mas belakangnya 8” aku mencoba membenarkan, hahahah udah deh ambyar pokoknya.

Setelah memastikan nomorku benar, ia turun ke pelabuhan Marampit. Oh, orang sini ternyata, pikirku. Setelah kejadian itu, aku menceritakan ke teman-teman. Dimas bilang, harusnya aku berbohong supaya tidak dimintai notelp. Hah ya sudahlah, cukup ini menjadi pengalamanku. Saat sampai dibali aku ditelp dan di SMS beberapa kali. Aku menghindar dan sudah tidak ada kontakan lagi.


Malam itu, akhirnya kami sampai pada Malam hari di Miangas, Ujung Utara Indonesia yang kami idam-idamkan.

Pulau Marampit
Meninggalkan Pulau Marampit. 

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts