ASA, SIRNA dan JUMPA

May 02, 2020

Hi guys! Tulisan ini merupakan hasil dari kawan perjalananku, Setyawan Koga (ig : @setyawankoga) dan beberapa pengalamanku. Beberapa hasil foto didapat dari Dimas (ig: @dimasradixia) dan Jovita (@jovitachiara). 


ASA


Pelampiasan yang terasa hanya sejenak, tapi lumayan menyembuhkan hati yang sepat kecewa. Dari pulau Sara, kami kembali ke Melonguane, kembali ke kenyataan bahwa kami tidak bisa sampai ke pulau Miangas. Setelah sempat kecewa, ibaratnya sinetron cinta fitri episod ke 1235, ada secercah harapan untuk kami berangkat.

Ya, ruang dan waktu bersatu, masih ada asa yang tersisa, pukul 20.000 WITA, kapal Fery akan berangkat menuju Marampit dan berakhir di Miangas, kami bergegas untuk mandi, dan bersiap-siap untuk berangkat kembali dengan kapal yang berbeda.

Kak Ovie ikut menemani, menaiki kapal Fery, dan meninggalkan barang-barangnya di Kapal Sabuk Nusantara 38. “Tenang, nanti kalau kapal Sabuk bersandar di Marampit, Kak ovie ambil barangnya, yang penting kak Ovie bisa temani kalian sampai marampit”, Kak Ovie menenangkan kami.

Naik kapal baru? Ya tentu bayar lagi, karena ini kapal milik swasta maka harganya “Yahudi”, tiket 100 ribu/orang, yang sudah tidak kami pikirkan, kami lekas bergegas naik, banyak yang kami korbankan untuk perjalanan ini, bila kami tidak sampai, rasanya sayang sekali. Menurutku, perjalnaan terkadang menguji rasa ego kita. Dilema tentu ada, apakah melanjutkan perjalanan dengan pengirbanan yang lebih? Atau sudah cukup dengan apa yang kamu jalani? Bagaimana menurutmu? Hal ini tentu tergantung tujuan masing-masing, kami tentu ingin melanjutkan perjalanan ini. Wah, aku jadi ingat perjalanan di Sumbawa, yang dilemanya juga sama, namun, itu pertama kalinya aku melepaskan ego. Kalau untuk miangas bagaimanapun cara dan jalannya semua harus tetap berlanjut.

Di Kapal Fery kami bertemu dengan Dua orang tantara Kopasus yang masih muda, kami berkenalan dan bermain game. Katanya beliau juga mau ke Miangas, dan ternyata diakhir cerita mereka asli orang sana, suasana kapal yang berbeda, disini lebih bersih dan tertata, kenapa segala hal yang diurus oleh Swasta selalu lebih baik dari yang di urus oleh Negara?

Entahlah, Kami cukup nyaman dengan suasana yang rapih dan bersih ,meskipun kami tidak mendapatkan tempat tidur, kapal ini sangat cepat, dalam semalam kami sudah sampai di pulau Marampit, dan Kak Ovie turun, “Nanti kalau kalian sudah pulang dari Miangas mampir di Marampit ya” ucapan perpisahan dari Kak Ovie.

Deru Ombak menjadi sedikit tenang, pagi hari kami bersandar di Pulau Karatung, ternyata kapal Fery yang kita naiki mengalami kerusakan karena menerjang badai disisa-sisa malam, ada apa lagi ini? padahal Miangas tinggal 8 jam lagi.




Siang terik di pulau Karatung yang sepi. 





Kapal fery yang mengantar kami sampai di pulau Karatung. 


SIRNA

Hari itu hari minggu. Kami turun, seraya menunggu awak Kapal untuk beribadah ke Gereja, rasanya semesta memang sangat baik. Kami dipertemukan dengan seorang bapak yang ternyata Kapolsek pulau Karatung dan menawarkan kami untuk minum air kelapa seraya berbincang. Semesta seakan tahu saja bahwa kami sedang dehidrasi. Enam sampai delapan Kelapa besar nan segr di belah, masing2 kami mendapatkan satu, dan masing-masing dapat sendok untuk mengorek isi kelaana


Di sela-sela obrolan beliau mengatakan bahwa dulunya adalah Mahasiswa Arsitektur seperti kami.

“Bapak dulu sekolah di Tadulako, angkatan-angakatan awal, kamu tahu bapak ____? (aku sudah tak ingat nama bapak itu) Ia adalah teman saya dulu saat di kampus, sekarang sudah menjadi arsitek terkenal.” Kata bapak kapolsek sambil menyeruput kelapanya, sangat santai.

Namun, karena beliau merasa capek dengan tugas yang banyak, iseng untuk ikut tes Polisi. Akhirnya, karena ia lulus tes, dengan berbagai pertimbangan yang matang, beliau beralih haluan. Ah rasanya kami tidak mau mengingat tugas yang akan menanti di kampus kelak. Bapak ini tau saja kami lapar berat, seperti biasa kami akan makan bar-bar.

Kami merupakan sekelompok barbarian sejati, ahaha. Kami diantar ke sebuah rumah dan makan Ikan yang cukup besar dengan nasi yang sangat banyak. Akupun syok dengan makan sebanyak itu, kami hanya perlu membayar 40 ribu untuk 4 orang, ikan besar dengan bumbu yang nikmat dipadu dengan nasi putih hangat.
Setelah makan kami menunggu kapal untuk diperbaiki. Kami membunuh waktu dipinggir pantai, mengobrol, melempar karang ke laut, mencari karang yang bagus, mengambil sedikit pasir, mengabadikan moment dan hal lainya
penantian yang sia-sia. Ternyata kapal tidak dapat diperbaiki dengan sempurna, dan tidak mau mengambil resiko untuk menyebarang ke Miangas.

Kami dihadapkan kepada 2 pilihan, apakah kami harus pulang ke Manado, terus ke Bandung dan Bali, atau pilihan kedua untuk menanti Asa, semoga ada keajaiban lagi, untuk menjernihkan pikiran kami menaiki kapal yang bertolak kembali ke Melonguane, untuk diperbaiki. Kami memilih ikut menuju Marampit, dan berencana turun disana, untuk menemui Kak Ovie. Alhamdulillahnya, uang tiket 100 ribu/orang dikembalikan lagi. Walaupun senang sudah jalan-jalan ke pulau Karatung dan sampai di pulau Marampit, masih ada kekecewaan dalam diri.

“Nggak papa, yang penting kita sudah mencoba, kalau ada yang tanya bagaimana Miangas, kita ceritakan saja, dan kasih lihat foto Marampit, toh ujung Indonesia itu juga, meskipun bukan yang paling ujung, yang penting kita sudah mecoba” Aku berkata.

Kami tau bahwa itu adalah kata-kata untuk menenangkan diri yang sudah dirundung kekecewaan, padahal hanya tingal beberapa jam lagi, dan kami kembali tanpa mengijakan kaki disana, di Ujung Utara Indonesia. Semesta belum mengizinkan kita.


JUMPA


Di Pelabuhan Marampit ada seseorang melambaikan tangan, ternyata itu Kak Ovie, entah dari mana beliau tau bahwa kami tidak jadi ke Miangas, padahal kita tidak berkomunikasi sama sekali, untuk sinyal saja tidak ada, mungkin itu cara semesta berkerja.


Kami turun kapal dengan setumpuk kekecawaan yang kami bawa, “ Hai, bagaimana tidak sampai ya? Kak Ovie tau kalian akan balik lagi kesini, ini ada motor tapi satu, kalian giliran ya diantar jemput oleh Koga” Kak Ovie menujuk Saya dan mencairkan suasana, Saya pulang pergi menjemput dengan sepeda motor yang cukup tua.


Oh iya aku ingin memberi tahu untuk kawan-kawan yang selalu nyinyir terhadap Pemeritah. Sekarang disetiap Pulau terpencil, insfrastruktur sangat bagus, memudahakan petani Kopra (Kelapa) untuk distribusi, sehingga perputaran ekonomi menjadi cepat. Wifi Nusantara yang gratis tersedia disetiap pulau yang tidak ada sinyal sekalipun, agar Masyarakat tidak tertigal dalam segi Infomasi.

Ada kapal Tol Laut yang mendristribusikan sembako, sehingga Bensin yang dulunya 100ribu/liter menjadi 10ribu. Beras sering datang, harga sembako murah, yang paling kami rasakan secara langsung adalah Kapal Sabuk Nusantara yang kami naiki. Rp.58.000,- dengan perjalan yang panjang, dan banyak lainya, mungkin pemerintah lebih fokus untuk membangun dari pinggiran. Mereka dulu yang berada di daerah terpencil merasa di “anak tirikan”.

Sekarang giliran orang di pulau Jawa, bedanya adalah orang yang berada di pulau terluar tidak lebay seperti orang di Pulau Jawa. Di pulau terpencil, bensin Rp.100.000,- saja mereka hanya biasa saja. Ada uang beli, untuk mesin kapal. Tidak ada uang? Dayung. Berbeda dengan di Kota, naik 500 rupiah saja demo, perlunya ada kesadaran bahwa saatnya giliran Masyarakat Kepulauan yang diperhatikan. Kita terkadang terlalu nyaman dengan keadaan yang kita miliki sekarang tanpa sadar diluar sana masih banyak yang harus berjuang emapt sampai lima kali lipat untuk mendapatkan makanan, atau sekedar menempuh ilmu pendidikan.

Indonesia bukan hanya Milik Pulau Jawa saja. Ini tidak bermaksud memasukan unsur politik, hanya berbagi pengalaman. Entahlah, siapapun pemimpin kelak aku kurang peduli, yang terpenting teruskan pembangunan dari pinggiran ini, aku mendukung kebijakan ini. Terbesit di pikiranku, terkadang, berita hanya seputar jakarta dan jawa. Sinetron kebanyakan juga seperti itu, padahal, masih banyak karakter yang bisa diangkat. Seperti misalnya menggunakan logat bahasa banjar dalam sinetron tukang bubur naik haji? Atau menambah karakter perantau dari manado yang bekerja di jakarta? Sekarang, semua orang mengira bila kita berbicara lo gue, seolah kita sudah bak artis ibu kota. Padahal bukan itu faktanya.

Aku tau kita hidup di Zaman dimana orang dukung salah satu kebijakan pemerintah disebut Pro Pemerintah, & dimana orang tidak mendukung salah satunya disebut kontra pemerintah.


Pelabuhan Marampit. 

Cerita ini akan berlanjut pada post blog selanjutnya. Banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah menemani kami dalam perjalanan ini. Rasa kekeluargaan yang saya rasakan sungguh luar biasa, mau kenal tidak kenal . Pada akhirnya torang semua bersaudara. Hal-hal menyenangkan lainnya tanpa disadari akan berlanjut hingga kami sampai Miangas pun sebaliknya. Tunggu cerita selanjutnya ya!


Spread the Love!

Alya.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts