Mie Che dan Pelabuhan Melonguane
May 02, 2020
Hi guys! Tulisan ini merupakan hasil dari kawan perjalananku,
Setyawan Koga (ig : @setyawankoga)
dan beberapa pengalamanku. Beberapa hasil foto didapat dari Dimas (ig: @dimasradixia) dan Jovita (@jovitachiara).
MIE CHE
Kami turun dari bukit yang sebelumnya menuju air terjun dan bergegas pulang karena tubuh sudah meminta untuk di re-charge. Tidak jauh dari air terjun kami langsung menancapkan gas dan berhenti di warung makan Mie Ayam yang porsinya cukup banyak, sesuai dengan keinginan bersama wkwkwk.
Kami pulang ke rumah melewati jalan panjang berbukit yang kami lewati tadi pagi, sepanjang perjalanan yang dilihat adalah lautan yang sangat luas. Angin menerpa menembus kulit, terik matahari yang membakar, dan hal ini yang sering kami rasakan selama perjalanan ini. Ini pula yang kami rasakan selama beberapa hari belakangan ini.
Kami sempat melewati beberapa penjual durian. Dasar aku dan Dimas yang tidak bisa melihat orang jualan durian, akhirnya aku dan Dimas mengajak berhenti Koga dan Jo untuk membeli durian. Alhamdulillah nya, kami semua suka durian HAHAHAH.
“Cari yang dekat pantai ya pak (Koga memanggil Dimas dengan sebutan bapak)”, Kata Koga. Ia pikir, lebih enak makan durian dengan terpaan angin sepoi-sepoi dan tidak lupa untuk melakukan hobi anehnya Koga yaitu mengumpulkan pasir dari pantai-pantai yang kami kunjungi. Kelak hingga ke Miangas pun tas nya bukan lebih berat karena bajunya, tapi karena pasir yang ia kumpulkan.
Nah sampai di kejadian mengapa post ini dinamakan Mie Che. Jadi ceritanya, disini ada makanan khas guys, namanya Mie Che. Karena penasaran kami berempat langsung bergegas ke tempat Mie Che. Aku menemukan informasi ini dari internet DAN GA BACA DISCLAIMER YANG ADA DI BAGIAN BAWAH HAHAHA.
Oke, jadi Koga dengan pedenya langsung masuk ke warung. Karena menurut Mbah Gugel, warung Mie Che terenak ada di dekat Pelabuhan Tua Tahuna. Benar saja, warung persis di seberang pelabuhan tua Tahuna, banyak pelanggannya lagi, wah memang laris pikirku.
“Alya, Bapak Dimas dan Jo mau yang kuah apa kering?” tanya Koga.
“Kuah dua, Kering satu”, Jo menjawab.
Tak lama setelah nya sambil memegang hape ditangan aku masih membaca review dari blog tersebut. Sambil masuk aku lanjut membaca bolg tersebut, dan semua mata tertuju padaku. Aku langsung keluar, ada yang aneh pikirku. Karena mungkin cara berpakaianku, aku langsung mengaca ke arah spion motor, tidak ada yang aneh. SAMPAILAH DI PENGHUJUNG BLOG, ditulis :
“Bagi yang Islam, jangan mencoba makanan ini yaa karena makanan ini mengandung daging babi”
OKE SIP. Usut punya usut ternyata walaupun ga ada babinya karena ini terbuat dari seafood, ternyata kaldunya terbuat dari kaldu babi hahahah. Pantas saja semua mata tertuju padaku, ibu-ibu yang lagi makan melihatku dengan tatapan terkejut abang terheran-heran. Untung saja aku menggunakan hijab, setelah beberapa detik kemudian, Jo dan Dimas langsung keluar. Tinggal Koga yang bilang “EH bu tidak jadi yaa heheheh” katanya seraya kabur keluar.
Esok sore harinya, Jo tampak ingin sekali mencoba makanan khas ini, karena ia Budhist jadi tidak apa-apa, sehingga aku dan Jo yang sedang jalan di pelabuhan tua kala itu (sementara Koga dan Dimas tidur pulas dirumah karena capek berkendara seharian). Akhirnya aku menemani Jo makan Mie Che, tentu saja aku tidak memesan hahah. Jo terlihat menikmati sekali dengan Mie Che, sampai sampai aku foto karena wajahnya senang sekali.
Sebagai bahan lelucon dan dasar Jo dan Koga. Pernah suatu ketika Jo sedang berbicara ludahnya jatuh ke tangan Koga, lalu Koga berteriak “ Oh tuhaan, maafkan hamba ini ludah Mie Che.”.
Melihat Koga seperti itu, Jo malah menjadi-jadi untuk membercandai Koga dengan mengoleskan ludahnya ke tanggannya lalu diusapkan pada tangan Koga. EWWWWW. Untung saja aku dan Dimas langsung kabur ketika mereka sedang bercanda. Karena perperangan ludah ini sangat menggelikan, soalnya Koga dan Jo saling membalas dengan mengoleskan ludah satu sama lain HAHAHAHA. Jorok dan kenanak-kanakan memang, tetapi hal ini lah yang membuat perjalanan kami penuh tawa. Hal ini pula yang menjadi legenda “Jo si Ludah Mie Che” hahaha.
Oh iya, selain itu pula ada hal yang menarik untuk bagian perjalanan spriritualku disini. Sore itu setelah makan Mie Che akhirnya aku dan jo iseng naik angkot yang gatau kita mau kemana akhirnya memilih untuk ke pelabuhan baru. Disana kami melihat sunset. Hari mulai malam. aku harus sholat maghrib. Wah untung saja tak jauh dari tempat aku dan Jo melihat sunset terdengar suara adzan maghrib yang cukup besar, ternyata kami dekat dengan mesjid. Jo menungguku untuk menunaikan sholat maghrib. Aku sangat beruntung punya teman seperti Jo, toleransinya sangat tinggi. Hal ini juga berlaku kepada pertemanan kami. Sayangnya dimesjid tersebut, tidak ada mukena yang bisa kupinjam. Alhasil aku menunggu rombongan yang sedang sholat. Sambil menunggu aku melihat seorang anak perempuan remaja yang belum juga menunaikan sholat tetapi ia punya mukena. Ia mendekatiku, lalu bertanya.
"Kak, kakak nanti bisa contohin sholat? nanti aku ikutin dari belakang", katanya malu-malu.
Aku tersenyum lalu bertanya. "Kamu belum bisa sholat dik?"
"Aku mualaf ka baru 3 hari yang lalu", katanya. Wah gatau kenapa saat itu juga aku terharu. Kalau ga salah namanya diubah menjadi Aisyah.
Akhirnya setelah sholat berjamaah, aku menanyakan bagaimana perjalanan spiritualnya. Memang, mayoritas penduduk di Tahuna memilih untuk agama kristen. Sehingga ia terlahir di keluarga yang sangat taat dalam beragama. Namun, saat ia memasuki SMP dan SMA, mulai ia pelajari semua agama. Hingga akhirnya ia bermimpi aneh. Aku lupa saat itu ia bermimpi apa, intinya ia nekat untuk mempelajari agama islam dan menetapkan hati disana. Tentu saja, keluarganya mengusirnya dan sekarang ia tinggal di sebuah pesantren untuk belajar agama. Aku hanya bisa tertegun dan merenung saat itu karena ceritanya dan kegigihannya.

Jo dan Mie Che kuahnya.
KEMBALI BERLAYAR
KEMBALI BERLAYAR
Tahuna tampaknya terlalu luas untuk kami berempat eksplorasi dengan waktu jelajah 3 hari. Banyak hal dalam perjalanan eksplorasi yang tidak terabadikan kamera. Banyak keindahan yang hanya terabadikan dalam memori diri dan hati. Setiap pulang dari perjalanan kami disambut oleh Mikha. Seorang anak kecil yang berlagak seperti orang dewasa dan itu sangat lucu sekali.
Ia berbicara dengan aksen yang lucu. Mikha adalah kawan kami saat dirumah, kehangatan Oma dalam menyediakan makanan dan mengobrol,perjalanan malam mengelilingin Tahuna dan obrolan menyenangkan dari Kak Kiky dan Kak Ivon yang terpahat dalam ingatan. Tak akan pernah terlupakan.
Malam pukul 21.00 WITA, kami harus kembali berlayar mengarungi lautan Sulawesi Utara. Kembali menjadikan lautan sebagai kawan. Sebuah perpisahan yang terlalu dini, Kak Kiky dan Kak Ivone tak henti untuk ikut memikirkan dan memberi nasihat pada perjalanan kami, hal yang sangat membuat aku pribadi terharu. Ternyata masih banyak orang yang sangat baik di dunia ini. Bayangkan saja, ada orang asing yang baru dikenal entah siapa, merepotkan dan tinggal dirumahnya, disambut dengan sangat baik. Semoga kebaikannya dibalas oleh Tuhan. Amin.
Sebuah kalimat terucap dari bibir Kak Kiky saat kami akan menaiki kapal.
“Kalau kalian pulang rute ini lagi, singgah lagi ke Tahuna yaa”, katanya sambil melambaikan tangan.
“Iya kak, doakan kami”, jawab kami untuk keluaga di Tahuna yang mendoakan kami selamat sampai tujuan.
Terima kasih untuk Kak Ivone, kak Kiky, Oma dan Mikha. Maaf kami makan banyak dan merepotkan hahah. Kami pamit dengan rasa sedih bercampur gembira, karena ada mimpi yang harus kami realisasikan.
“Kapan-kapan kita bertemu lagi yaa”, kata Oma yang membekas diingatan. Keluarga kami di Tahuna semoga sehat selalu, sampai jumpa kembali, kami tunggu di Bandung, Jakarta dan Bali.

Kak Kikiy, Kak Ivone, Oma, dan Dimas. MIka sudah tetidur pulas saat kami hendak berangkat.
MABUK
Kami mabuk. Bukan karena minum-minuman keras tapi karena dilambung oleh air. Ini merupakan perjalanan laut pertama yang membuat kami mabuk laut.
Badai besar semalaman, ombak yang menggoyang kapal, mempuat kami pusing. Untuk berdiri saja tidak bisa, karena kapal begitu oleng. Untuk berjalan, perlu mencengkeramkan tangan pada daerah sekitar. Pada saat ini semua serba salah. Duduk pusing, berdiri pusing, tiduran pusing tetapi solusi satu-satunya ialah merebahkan tubuh. Lebih bagus lagi jika bisa tertidur.
Jadi pada saat itu kami semua bersiap untuk tidur. Dimas, Jo, Koga dan Kak Ovie (kami berkenalan saat naik kapal di Tahuna) tidur di Deck Luar paling atas, dengan beraslaskan tripleks, mereka memilih diatas karena ada angin yang cukup besar, terasa mengurangi rasa mabuk, sedangkan aku di deck bawah dalam sedang tidur diatas Kasur, karena ingin membaca buku, saat itu Koga turun kebawah penasaran apakah aku baik-baik saja, dan jelas tidak. Aku sudah pusing akibat bau yang tidak mengenakkan. Sengaja kupilih kasur yang dekat dengan jendela agar bau itu menghilang, siapa sangka malamnya air ombak masuk ke dalam kala kapal menghempas ombak. Kukira akan menjadi Titanic nantinya. Dalam hatiku, apakah ini yang dirasakan orang-orang saat kapal menghantam badai?
Koga turun ke Deck dalam, ia mendapati aku yang sudah pucat pasi dan lunglai tak bergerak, wah ini bagaimana ini?
Aku setengah sadar saat koga menanyakan apakah aku mau minum teh hangat. Sebenarnya saat itu aku sudah tidak bisa berfikir jernih lagi, dengan mata setengah terbuka dan lemah , aku mengangguk saja tanpa pikir berapa harga teh saat itu hahaha.
Untungnya Koga masih ingat kata Bapaknya, kalau ada yang lemas kasih minuman manis, karena gula mudah dicerna menjadi tenaga, langsunglah ia membeli air the manis yang harga Yahudi itu, “dalam perjalanan perlu kita saling mengcek kawan-kawan kita” kata kak Ovie. Setelah nya Koga naik keatas, aku mencoba minum teh itu, tapi dengan keadaan kapal oleng sana sini, ondeh mandeh. Aku mencoba menghabiskan teh, namun, sudah telanjur pusingm, jadi aku sisakan setengahnya.
Untungnnya badai berlalu, tapi badai semalaman membekas membuat kami pusing, pemberhentian selanjutnya pulau Mangaran, tapi kami sandar hanya 2 jam saja, yang pertama Koga lakukan adalah turun dan mengambil pasir, ahaha, seraya membeli minum, karena di darat pasti lebih murah. Sementara Dimas saat itu sigap mengambil kamera, Jo dan aku asik berbincang bersama kak Ovie.
Kami Lapar, teringat makanan yang dibekalkan oleh Oma pas di Tahuna, kertas dibuka dan di gelar kami hendak makan, kak Ovie kami ajak makan, beliau menolak, terus kami ancam “Kak kami tidak akan makan sebelum kakak bergabung”, kami terdiam sejenak memandangi makanan, disisa-sisa kepusingan. Akhirnya kami makan bersama. Sejujurnya saat itu aku masih pusing, serba salah kaya lagu Raisa. Ikutan dengan Dimas, Jovita, Koga dan Kak Ovie di deck atas dengan angin kencang membuat ku semakin mual ditambah setelah kami makan. Alamat aku kembali lagi kebawah untuk memaksakaan mataku terpejam.
Suasana kapal yang sedang ditinggal penumpang. |
PELABUHAN MELOGUANE
Buku selalu membuat ku ingin berpetualang. Contohnya saja, saat aku bawa Garis batasnya Agustinus Wibowo, wah cukup membayangkan perlanjananya saja sudah membuatku senang, suatu hari inti aku ingin mengunjung daerah yang belakangnya ada stannya. Awalnya, buku Arah langkah nya Fiersa Besari yang membuatku ingin ke Miangas. Setelah merengek ke Dimas dan Jovita, ah akhirnya kami tiba di tujuan-tujuan yang awalnya kukira hanya sebatas tulisan yang kubaca saja. Salah satunya Pelabuhan Melonguane. Siapa sangka, yang awalnya dia tulis di buku, akhirnya kami menginjakkan kaki di pelabuhan ini. Salah satu pelabuhan terbesar di Kepulauan Talaud. Seperti biasa, kapal kami bersandar, dengan waktu yang cukup lama.
Setelah bersandar sayup-sayup suara tidak jelas terdengar, Koga mendekati sumber suara itu,
“Kapal kemungkinan tidak akan sampai ke Miangas karena Badai”. Salah seorang awak kapal berbicara kepada rekannya.
Mimpi yang sudah kami idam-idamkan, meihat ujung utaranya Indonesia. Kami sudah setengah perjalanan. Rasanya hancur, asa sirna. Hanya tinggal beberapa hari lagi untuk sampai ke tanah impian.
Ah yasudahlah, setidaknya kami turun menenangkan pikiran terlebih dahulu. Kak Ovie mengajak kami untuk turun dan mengisi perut. Kami berjalan sempoyongan , seakan bumi ikutan goyang dumang, sisa-sisa pertarungan dengan badai semalam. Apa daya, ditambah dengan kebatalan kapal menuju tujuan akhir kami. Rasanya mengesalkan sekali. Tapi apa boleh buat? Kita tidak bisa melawan alam.
Disaat itu aku berfikir, betapa tidak berdayanya manusia menghadapi kekuatan alam. Selama ini terletak tipuan antara manusia dan alam. Menjadikan alam sebuah musuh untuk dikalahkan dalam upaya mengindari kematian dan sebagai monster. Kita bertekad untuk bisa mengendalikan monster itu. Terciptalah kompas, ramalan cuaca dan lainnya agar alam bisa kita masukkan ke hitungan, Mempredeksikan apakah alam akan membahayakan kita? Apakah alam bagian dari kita? Atau kita bagian dari alam?
Ah melihat dari kacamata manapun, kita selalu mulai mempercayai pengamalan dan persepsi kita. Melihat diri kita bagian dari hidup sendiri. Karena itu ada persepsi yang lebih besar yang selalu kita mainkan : permainan mengingat bahwa alam itu sendiri yang dapat memainkan persepsi kita dari awal. Hidup kemudian berhenti menjadi konflik dan menjadi seperti biasa : pasrah.
Akhirnya untuk melupakan sejenak, kami makan mie ayam yang banyak (aku baru sadar sebnarnya selama perjalanan kami cukup ssenang untuk makan mie ayam hahahah ) dan kembali mencari kapal kecil menuju pulau yang sebelumnya kami lewati. Sebelumnya saat di kapal sabuk, kak Ovie menunjuk sebuah pulau dengan tulisan sangat masif dan berwarna-warni, sangat kontras dengan lingkungan sekitar, pikirku. Sara Island. Sangat besar. Ternyata ada acara yang super besar yang diadakan pemerintah di pulau itu. Dengan mengundang artis ibu kota, menghibur masyarakat sekitar biaya yang cukup besar, membangun paving blok di sekitar pulau, bangunan yang sekarang sudah reot dan bangunan beton yang sudah tak ada fungsinya lagi. Sayang sekali. Terlebih lagi, terumbu karang disekitarnya banyak yang mati, karena kapal-kapal rakyat yang sembarang bersandar, karena kebanyakan kapal-kapal kecil, jadilah terumbu karang mati berwarna putih berhamburan.
Pulau itu tak berpenghuni, kami menyeberang menggunakan kapal speed, “Disini kemarin Judika konser”, kata kak Ovie membuka pembicaraan.
“Oh iya kak, pasirnya cukup bagus dan putih sekali” kata Koga menjawab.
Namun, ada rasa banyak kekecewaan, dengan banyaknya sampah plastik. Kamu tahu? Menurut Koga, di Bandung, mereka tidak punya pasir putih, bahkan air laut yang sangat biru dan jernih seperti ini. Karena Bandung tidak punya pantai, dan mungkin di seluruh bibir pantai Jawa Barat susah sekali melihat hal seindah ini.
Bila berfikir apa yang bisa disalahkan? Banyak, entau itu penyelenggara atau penonton. Tapi bisa apa? Hal itu tidak menyelesaikan masalah secara instan. Perlunya edukasi sebelum semua menyesal, yang melibatkan berbagai lapisan, tapi itu hanya gagasan yang terpikirkan. Caranya? Entah belum terpikirkan untuk saat ini.
Aku langsung ingin berenang melihat terumbu karang. Sayang sekali, Aku tidak dapat melihat terumbu karang seindah yang ada di pulau Lembeh. Aku berenang menggunakan kacamata dive-ku, terkadang dipinjam Koga. Dimas meloncat dari pelabuhan kayu, Jovita mencari cangkang seraya mencari mana cangkang yang paling indah, Kak Ovie sibuk bermain dengan pasir, dan diujung sana, seorang bapak kapal speed, berdiam diri menunggu.
0 comments