Disclaimer : Beberapa cerita yang ada di Perjalanan di Manado saya ambil dari tulisan teman saya, Setyawan Koga, bisa di cek di ignya : @setyawankoga untuk membaca cerita versinya. Selamat Membaca!
Jika ditanya pengalaman apa yang paling berkesan selama perjalanan,
adalah bertemu dengan teman- teman di Manado dan melihat sebuah pulau dengan terumbu karang yang tak jauh dari bibir pantai.
- Alya Lihan
Siapa sangka, dari sebuah perjalanan mendorongmu untuk melanjutkan perjalanan kedepannya dan menambah pengetahuan dan wawasan baru mengenai suatu daerah yang kau datangi.
Rabu, 5 September 2018
Kemarin sore, aku, Jovita , Koga dan Dimas izin kepada grup kami untuk mengikuti bus mahasiswa asal Manado. Sempat kutanya dengan salah satu teman-teman kami berapa lama dari palu menuju Manado ?
Kamis, 6 September 2018.
Well, cerita selanjutnya karena saya lupa, sehingga saya perlu menyalin dari cerita versi teman saya, Koga.
WALE
Pagi hari cerah menyambut saya, setelah kemarin lelah berkeliling dan bermain di Tondano & Tomohon , "Wale" (Rumah tradisional Manado) yang berbahan kayu. Sangat nyaman rasanya tinggal di Wale, saya merasakannya sendiri saat tidur dan beristirahat di basecampnya Archilizer (Himpunan Mahasiswa UNIMA Tondano). Seperti banyak rumah tradisional indonesia dengan filosofi kepala, badan, dan kaki. Dimana kepala adalah atap, tempat bersih yang biiasanya tempat menyimpan sesuatu yang berharga. Badan adalah ruangan yang kita tinggali dan kaki adalah ruang yang sedikit negatif. Digunakan untuk kandang hewan peliharaan, selain itu rumah berpanggung seperi ini menghindari kerusakan parah akibat gempa, banjir dan serangan hewan buat ataupun faktor-faktor lainnya.
Sepintas tentang Wale ini, sekarang banyak yang sudah tidak seperti dahulu lagi, bagian rumah yang paling bawah sekarang dibuat tempat tinggal dengan bahan beton, dan mungkin inilah hasil dari akulturasi yang tidak terlalu merusak nilai setempat, saya bersyukur masih bisa melihat dan merasakan rumah tradisional Manado yang notabene dapat dengan mudah kita jumpai di pusat kota, berbeda dengan di Jawa Barat yang jika kamu mau merasakan rumah tradisional setempat, mungkin dan memang sangat susah kita jumpai di pusat kota.
Di sepanjang perjalanan, kami melihat Rumah Wale berbaris seakan berkata "inilah aku", saya dan dua kawan mengagumkan Alya dan Jo (Thanks kogs! haha), beradu pendapat tentang mana yang kami sendiri sukai, dengan argumentassi masing-masingm seperti anak kecil yang berebut gambarr di majalah dan mengakui bahwa itu adalah milihnya, Dimas lebih memilih untuk fokus menyetir mobil yang kami sewa untuk berkeliling.
Wajar kami berdebat, karena kami bertiga menykai arsitek yang menjunjung nilai budaya dan ekologis seperti pak Eko Prawoto, pak Yusing Lim, pak Yori Antar dan lainnya, perjalan kami diantar oleh kawan-kawan dari arsitektur manado, yaitu kawan-kawan Wale ( Forum Mahasiswa Arsitektur sulawesi Utara)
MALAM TERAKHIR DI TONDANO & TOMOHON
Sore hari kami diajak untuk menghabiskan waktu disebuah kebun, sebuah tempat di Tomohon yang tidak kami ketahui itu dimana. Dalam perjalanan kami menemui jalan yang mulai menyempit dan berhenti disebuah kebu, kami berjalan cukup jauh, saya sejenak berpikir "Mungkin, kalau saya ditinggalkan disini etntah karus kemana", suara serangga dan hewan begitu jelas dan keras terdengar.
Kami membawa bekal persediaan nasi dan ikan, namun Daniel tetap mencari ikan di sungai dekat kebun. Ya, ini adalah kebunnya Daniel, sebuah kebun di lereng yang cukup curam dan ada sebuah gubukk tempay kami mengobrol, makan dan membakar ikan. Obrolan bersama candaan menemani kebersamaan kami seraya menunggu ikan matang dalam pembakaran, yang nyatanya tidak matang sempurna, namun itulah yang bermakna, Dimas Bersama Kak Kia/@kia_tumiwa menyalakan api, Daniel Bersama kawan yang lain turun ke bawah mencari Ikan, saya mengobrol sambil mengebaskan-ngebaskan kipas agar bara tetap menyala dalam pembakaran ikan, terdengar obrolan Alya, Jovita, Shania dan Kitin /@christinaloviannabakara (yang nanti menemani perjalan kami di Bitung esok harinya).
Mengobrol tentang filosofi Kopi yang mereka minum dan obrolan Puisi ringan Bersama Kak Roy /@roymaltus.dagasou ,adalah kawan yang saya kenal pas di bus dari Palu menuju Manado, kami mengobrol tentang buku, perjalanan dan hal unik lainya, beliau menyampaikan pada kami “Jadikan Lautan sebagai Kawan”, beliau sangat mengenal lautan saya rasa, beliau berasal dari Maluku, dibalik tampilan yang ekstentrik beliau menyampaikan bentuk kekhawatiran dan motivasi kepada kami berempat (Alya, Jo, Dimas dan Saya) agar tetap saling menjaga dalam perjalanan.
Makanan sudah Siap, seakan Lomba makan pun telah dimulai, setiap orang sudah bersiap dengan ancang-ancangnya ditempat, kami makan dengan sambal yang begitu pedas, ditanah Manado ini semua makan tidak jauh dari rasa pedas, sebuah pepatah selalu muncul dalam menyantap makanan pedas “disini Torang lebih baik harga bensin mahal dari pada harga Rica (cabai) mahal)"
“Pelabuhan terbesar ketiga” yang saya ingat dari perkataan seorang bapak, yang rumahnya kami tinggali saat singgah disana. Suara burung mengantar Jiwa untuk segera memulai hari dan terbangun, mengingatkan bahwa hari ini kami harus berangkat ke Bitung untuk mengcek jadwal keberangkatan
tak ada persiapan lebih bagi Alya, Dimas,Jo, Kitin dan saya, kita hanya membasuh muka, dan siap untuk berangkat, perjalanan yang diawali dengan langkah kaki dan menaiki angkutan Kota, ada yang special disini, tempat duduknya menhadap kedepan seperti saat kita menaiki bis, dan ini yang paling special, suara musiknya keras menggelegar, 3 Angkutan Kota berkumpul dalam satu tempat, sudah seperti konser band indie, acara 17 Agutusan atau Dangdut Hajatan, Angkutan ini mengatar kami ke sebuah terminal yang nantinya kita menaiki bus yang tidak kalah menggelegar suaranya menuju pelabuhan Bitung.
Sesampainya di Bitung, kami tidak mendapat informasi yang pasti, kata seorang bapak " Besok ke Kantor PELNI dek". Kitin punya ide brilian, dari pada kita pulang lagi ke Manado, lebih baik menyebrang ke Lembeh, ke rumah kawan Kitin. Ada yang cukup lucu, saat kami menyebrang menuju Lembeh Alya dihampiri seorang Omah dan menjodohkanya dengan anaknya yang bekerja di Jakarta, itulah yang kelak menjadi ledekan kami terhadap Alya.
Disini ada monument Trikora, monument pembebasan papua yang dipimpin Bapak Soeharto, beserta pesawat bekas pembebasan saat itu, disamping monument ada sebuah warung kecil mirip cafe yang menyediakan makanan khas Bitung, adalah sebuah pisang goreng dengan sambal yang manis pedas, ini adalah warungya orang tua kawan Kitin, Kami diberi makan dan Minum seraya menunggu senja
hal yang paling menegejutkan adalah kita disuruh untuk tinggal di sebuah rumah yang bagus, rumah Orang tua Kawan Kitin, kata Bapak “tinggal disini saja, jarang diisi, bapak dan ibu sering diwarung”.
Itulah mengapa saya kurang suka diatur saat menjalin hubungan dengan seseorang, dengan tidak boleh ini, tidak boleh itu, tanpa alasan yang jelas, jika kamu menyukai seseorang biarkanlah dia seperti itu, itulah rasa, bukan kamu ingin dia seperti yang kamu inginkan, berarti kamu mencintai diri sendiri dan yang paling menurut saya jahat adalah kamu menerima Cinta atau mempertahankan cinta seseorang terhadapmu atas dasar belas kasihan. Malampun tiba, kami habiskan dengan menonton televisi seraya mengobrol kesana kemari.
Kami menyusuri pulau sepanjang jalan dari rumah yang masih rapat sampai yang sudah jarang, dan berhenti disebuah monument patung Yesus yang menjulang cukup tinggi, oh iya infrastruktur disini cukup bagus, setelah kita mngabadikan moment, beristirahat disebuah warung kecil, dengan seorang bapak, kami membeli makan dan minum, bapak menawarkan untuk kita menyebrang pulau, beliau menelpon kawanya yang dibibir pantai dan menawarkan harga yang murah bagi kami untuk menyebrang.
Pulau kecil ini sangat mengagumkan, dengan pasir sangat putih indah, yang hanya bisa kami kunjungi saat air surut, kekaguman kami pun bbertambah saat saya menemukan Banyak terumbu karang hidup, asal kamu tahu , dengan air hanya sebatas lutut saja kita bisa melihat terumbu karang, namun ada rasa sedikit kecewa saat kita sadar bahwa kacamata Snorkling Alya tidak terbawa, dan kekecewaan kami kedua adalah, tidak membawa kamera anti air, kami hanya bisa melihat dengan mata telanjang yang sedikit buram, terumbu karang ini sekaan memberikan celah pasir untuk kami berjala melihat lihat Mereka, ini seakan d Taman terumbu karang, Dimas lebih memilih tidak turun dan menikmati angin seraya bersandar pada batu, Cuman kami berempat yang turun ke air, saya punya ide untuk melihat Terumbu Karang dengan jelas, yaitu dengan Botol Plastik, yang saya bawa, cukup jelaslah untuk menikmati sajian alam ini, saya selalu membawa botol plastik yang saya ambil dibibir pantai, untuk diisi pasir dan dibawa pulang.
Jika ditanya pengalaman apa yang paling berkesan selama perjalanan,
adalah bertemu dengan teman- teman di Manado dan melihat sebuah pulau dengan terumbu karang yang tak jauh dari bibir pantai.
- Alya Lihan
Siapa sangka, dari sebuah perjalanan mendorongmu untuk melanjutkan perjalanan kedepannya dan menambah pengetahuan dan wawasan baru mengenai suatu daerah yang kau datangi.
![]() |
Tasnya Dimas, Noken dari Nomen, Buku Aleph dari Ekel. Topi dari El. |
Rabu, 5 September 2018
Kemarin sore, aku, Jovita , Koga dan Dimas izin kepada grup kami untuk mengikuti bus mahasiswa asal Manado. Sempat kutanya dengan salah satu teman-teman kami berapa lama dari palu menuju Manado ?
“28 jam”, sebutnya dengan sangat
santai.
“Hah? 28 jam?” aku dan Jovita
terbelalak mendengar pernyataannya. Baru sekali ini kudengar ada yang menaiki
bus selama 28 jam , aku paling lama naik bus selama 7 jam ke Sumatera Barat ,
12 jam naik kereta dari Surabaya ke Jakarta.
Maka sore itu menjadi saksi aku, Jovita, Dimas dan Koga memulai perjalanan ke Sulawesi Utara. Hari ini aku masih
di dalam bus, dengan jovita duduk disampingku , Kitin dan temannya di depan,
berkarung-karung kopi dan beras berada di tengah.
Sesaat sebelum sampai di
Gorontalo, ditengah jalan tiba-tiba bus berhenti. Ternyata ban bus nya pecah.
Maka aku dan teman-teman terpaksa turun dari bus. Kami duduk di warung dan mulai mengenal satu sama lain. Anak-anak dari Sulawesi Utara melontarkan beberapa lelucon yang mengahangatkan suasana yang
harusnya sudah jenuh itu, sudah 18 jam lamanya kami mengendarai bus. Setelah
ban diganti, satu persatu teman kami masuk ke dalam bus. Melewati gorontalo,
kami pun berhenti kembali, bukan karena ban pecah, namun ditilang polisi. Malam
pun datang, kami sudah dampai di Universitas
Sam Ratulangi, aku dan Jovita akhirnya menginap di kosan Kitin.
Kamis, 6 September 2018.
Pagi-pagi sekali kami bangun,
langsung berjalan menuju Universitas Sam Ratulangi. Hari ini Jovita ulang tahun.
“Eh Al ini tempat shoot-nya Hujan di bulan Juni loh “ kata Kitin
menjelaskan dengan semangat.
Aku yang sempat menonton film
karya Sapardi Djoko Darmono itupun
bersemangat.
“Oh ya ? dimana shooting-nya ?”
“Ini di temat kita berdiri,sama
jembatan yang itu” kata Kitin sambil menunjuk jembatan yang ada di depan gedung
rektorat Universitas Sam Ratulangi. Aku
pun berfoto hehe, berharap kisah ku kira-kira menjadi Hujan di Bulan Juni. Ah,
tapi mana mungkin, sampai sekarang Sarwono yang kutunggu tak kunjung datang.
Setelah sempat melihat-lihat universitas
Sam Ratulangi , aku , Jovita, Koga dan Dimas diajak main ke kosan omnya Enda
untuk makan bersama. Senang rasanya karena rasa kekeluargaan itu tetap ada,
ketulusan dari om dan tante Enda terasa dengan masakan ikan dabu-dabu yang
sangat nikmat. Kami kembali ke Unsrat berbincang ringan dengan teman-teman
lainnya , membicarakan perjalanan kami menuju Miangas. Disana pula kami bertemu
dengan bang Bacan dengan rambut Kribo, gaya nyentrik dan vespanya dengan bunyi
yang aduhai , haha. Tak lupa pula dengan bang Roi, hampir sama, kribo , bang Bacan yang dari Flores dan bang Roi dari Maluku.
Ah, andai saja suatu hari
nanti aku bisa ketempat bang Roi, atau bahkan ke kepulauan Banda Neira. Suatu hari nanti.
Selain membahas mengenai cara ke Miangas, kami disarankan untuk naik gunung Kelabat,
banyak pilihan untuk jalan-jalan bahkan ke Bunaken atau Jiko, dll. Tomohon juga
jadi salah satunya. Puas kami berbincang akhirnya kami memutuskan untuk
berjalan menuju pesisir kota manado, mencari tinutuan (bubur Manado) dan mi
cakalang. Wah that’s the first one of my
lifetime, dan enak banget parah. Tapi ada satu sambal yang awalnya aku
suka, namun saat aku tahu bahanya apa, langsung ilfil, tapi tetep enak kok!. It’s just the matter of my personal taste. Sambal itu terbuat dari isi perut ikan yang dibusukan lalu digiling dengan
cabe. Usut punya usut setelahnya aku sakit perut , antara kebanyakan makan ,
atau perutku sedang adaptasi dengan
sambal yang kumakan tadi. Setelah puas mencicipi mi cakalang dan tinutuan .
aku, Jovita, Dimas, Koga, Kitin , Axel , Ekel, El, Shania dan Nidia berjalan
mencari tempat untuk jalan–jalan di daerah kawasan . Di kawasan aku bertemu
dengan teman–teman membahas mengenai banyak hal salah satunya prospek
pariwisata kedepannya, adat istiadat yang ada termaasuk budaya Minahasa dan
bertemu dengan Nomen yang berasal dari Papua. Banyak hal yang kami diskusikan ,
namun sayang energi tak dapat ditahankan sehingga kantuk pun mulai datang. Aku
mulai tak berkonsentrasi degan apa yang mereka bilang.
Jum'at, 7 September 2018.
Pagi yang lesu, membuat aku dan
Jovita ingin berjalan-jalan di kota Manado. Alamat karena kami belum sarapan,kami
akhirnya memutuskan untuk mencari nasi
kuning terkenal di kota. Seroja nama tempatnya, seharga 20 ribu untuk seporsi
nasi kuning, aku dan Jovita penasaran dengan nasi kuning yang dibungkus daun
woka, sehingga kami membeli lagi 1 porsi nasi kuning. Bungkus woka yang unik,
menarik, dan sangat bio-degradable.
Setelahnya kami pergi ke museum. Kerena tempat terbaik untuk mengetahui asal–usul
kota ialah melihat museum nya. Kami yang sampai bingung dengan tidak ada
petugas di meja, akhirnya aku dan jovita melewati bapak-bapak yang sedang duduk
santai di depan meseum, kami tersenyum , ku pikir itusudah cukup menyapa. Ternyata
bapak itu memangggil kami, dengan agak marah ia bilang.
“Mau kemana dek? Kok ga sopan karna
tidak permisi!”
Aku dan Jovita sontak kaget dan
bingung apa yang harus kami lakukan
“Kalau mau ke museum ya melapor”
“Maaf pak, kami tidak tahu bapak
petugasnya, dan tidak ada yang berjaga di depan” jawabku, Jovita sudah terdiam.
Mereka menanyakan dari mana, dan
penasaran apa tujuan kami. Kami langsung
meminta maaf dan berharap kejadian ini tidak terulang lagi. Kami melihat isi
museum yang membahas banyak hal mengenai sulawesi utara dan budaya kaum Minahasa
dan juga Sanger. Disana pula aku meilihat gambar kepulauan Sangihe dan Miangas,
tempat kami akan pergi, tujuan akhir kami dalam perjalanan ini. Melihat isi
museum ini, sepertinya tidak terurus atau jarang dibersihkan, seiring dengan
jarangnya pengunjung ada ke museum ini. Tetapi setidaknya banyak hal yang aku pelajari
tentang sejarah orang-orang Minahasa, sadar kalau ada banyak cerita dan budaya
di Indonesia. Siangnya aku dan teman-tema pergi ke Tondano dan menginap di
markas anak-anak Unima (Univesitas Negeri Manado). Suasaana Tondano dan Tomohon
sangat dingin. Aku senang berada di rumah itu , rumah dengan dua tingkat,
dengan view belakang menghadap bukit
dan sawah juga danau Tondano. Rumah itu
terbuat dari kayu juga tangganya. Ketika kita berjalan , lantaipun berdecit
tanda seseorang akan naik atau datang. Kami memasak banyak hal termasuk ikan –
ikan kecil seperti teri khas diambil dari danau itu. Malam itu dengan alas daun
pisang kami makan bersama, ddan hal ini akan terulang untuk 3 minggu
selanjutnya.
Sabtu, 8 September 2018
Pagi-pagi sekali aku dan
teman-teman berjalan pagi melihat pasar ekstrim yang merupakan suatu
kegiatan parwisata yang ektrim pula. Kami melihat segala jenis binatang yang
dijual sebagai bahan makananan untuk di makan. Ada ayam, sapi, babi, anjing, kelelawar, tupai, kucing, ular piton dan
masih banyak hal lainya yang tidak bisa ku sebutkan satu persatu. Aku
tak kuat melihat anjing gosong terbujur kaku diatas meja jualan itu. Tetapi
masih kutahan, sampai Enda bilang dia mau muntah ia tak kuat mencium bau
binatang yang sudah di bakar itu.
Kulihat pula Egi kecapean habis mabuk minum
CT alias Cap Tikus tadi malam. Akhirnya aku membawa Enda keluar dari pasar, dan membelikan kue
pukis untuk mengganjal perutnyaa agar tidak mual. Sarapan pagi kami habiskan
dengan makan bakso dan akhirnya berangkat menuju benteng Moraya, di jalan kami
juga melihat rumah kayu pada zaman dahulu.
Baru kutahu ternyata rumah ini
bukan peninggalan jaman belanda, tetapi rumah yang dibuat untuk berlibur dan
berfoto ria. Di benteng moraya ,ada beberapa orang yang berpakaian adat Waraney Khas Minahasa dan Burung Manguni atau Burung Tootosik ada juga sebutan di lainnya tergantung daerah Minahasa mana. Namun tetap menjadi umum disebut Burung Manguni (mauni : mengamati) yang memang di tugaskan oleh Opo Empung Wangko untuk selalu memberi petunjuk kepada bangsa Minahasa dan di anggap suci. Karena dari burung Manguni ini ada terdapat banyak kekuatan yang di anggap gaib, mungkin sudah banyak dilupakan atau sudah tidak diketahui oleh orang Minahasa pada umumnya karena hal ini memang di rahasiakan dan hanya diwariskan lewat lisan saja.
![]() |
Burung Manguni rasa boneka wkwk. Diem aja di atas kepala ibu yang menawarkan jassa foto bersama burung Manguni. |
![]() |
Membersihkan Kuda di Sungai Kecil. |
Jugas Tugas seorang Waraney bukan saja sebagai prajurit untuk berperang. Waraney yang dimaksud adalah dia sebagai seorang yang dapat melindungi suku, menafkahi keluarga, memimpin suku dan menjaga tradisi dari para leluhur Minahasa. Jadi Waraney disaat itu ialah mereka para pemburu, petani, ahli seni, ahli bangunan, nelayan, ahli pengobatan, dan ahli perang. Kami juga sempat menghabiskan waktu untuk berenang. Airnya sejuk dan jernih sekali aku suka berenang dikolam renang yang berada dekat antara Tondano dan Tomohon, kegiatan diakhiri dengan kami yang hendak berangkat menuju Bitung keesokan harinya.
![]() |
Ayo tebak kira-kira binatang apakah ini? |
Well, cerita selanjutnya karena saya lupa, sehingga saya perlu menyalin dari cerita versi teman saya, Koga.
WALE
Pagi hari cerah menyambut saya, setelah kemarin lelah berkeliling dan bermain di Tondano & Tomohon , "Wale" (Rumah tradisional Manado) yang berbahan kayu. Sangat nyaman rasanya tinggal di Wale, saya merasakannya sendiri saat tidur dan beristirahat di basecampnya Archilizer (Himpunan Mahasiswa UNIMA Tondano). Seperti banyak rumah tradisional indonesia dengan filosofi kepala, badan, dan kaki. Dimana kepala adalah atap, tempat bersih yang biiasanya tempat menyimpan sesuatu yang berharga. Badan adalah ruangan yang kita tinggali dan kaki adalah ruang yang sedikit negatif. Digunakan untuk kandang hewan peliharaan, selain itu rumah berpanggung seperi ini menghindari kerusakan parah akibat gempa, banjir dan serangan hewan buat ataupun faktor-faktor lainnya.
Sepintas tentang Wale ini, sekarang banyak yang sudah tidak seperti dahulu lagi, bagian rumah yang paling bawah sekarang dibuat tempat tinggal dengan bahan beton, dan mungkin inilah hasil dari akulturasi yang tidak terlalu merusak nilai setempat, saya bersyukur masih bisa melihat dan merasakan rumah tradisional Manado yang notabene dapat dengan mudah kita jumpai di pusat kota, berbeda dengan di Jawa Barat yang jika kamu mau merasakan rumah tradisional setempat, mungkin dan memang sangat susah kita jumpai di pusat kota.
Di sepanjang perjalanan, kami melihat Rumah Wale berbaris seakan berkata "inilah aku", saya dan dua kawan mengagumkan Alya dan Jo (Thanks kogs! haha), beradu pendapat tentang mana yang kami sendiri sukai, dengan argumentassi masing-masingm seperti anak kecil yang berebut gambarr di majalah dan mengakui bahwa itu adalah milihnya, Dimas lebih memilih untuk fokus menyetir mobil yang kami sewa untuk berkeliling.
Wajar kami berdebat, karena kami bertiga menykai arsitek yang menjunjung nilai budaya dan ekologis seperti pak Eko Prawoto, pak Yusing Lim, pak Yori Antar dan lainnya, perjalan kami diantar oleh kawan-kawan dari arsitektur manado, yaitu kawan-kawan Wale ( Forum Mahasiswa Arsitektur sulawesi Utara)
![]() |
Peradaban. |
![]() |
MALAM TERAKHIR DI TONDANO & TOMOHON
Sore hari kami diajak untuk menghabiskan waktu disebuah kebun, sebuah tempat di Tomohon yang tidak kami ketahui itu dimana. Dalam perjalanan kami menemui jalan yang mulai menyempit dan berhenti disebuah kebu, kami berjalan cukup jauh, saya sejenak berpikir "Mungkin, kalau saya ditinggalkan disini etntah karus kemana", suara serangga dan hewan begitu jelas dan keras terdengar.
Kami membawa bekal persediaan nasi dan ikan, namun Daniel tetap mencari ikan di sungai dekat kebun. Ya, ini adalah kebunnya Daniel, sebuah kebun di lereng yang cukup curam dan ada sebuah gubukk tempay kami mengobrol, makan dan membakar ikan. Obrolan bersama candaan menemani kebersamaan kami seraya menunggu ikan matang dalam pembakaran, yang nyatanya tidak matang sempurna, namun itulah yang bermakna, Dimas Bersama Kak Kia/@kia_tumiwa menyalakan api, Daniel Bersama kawan yang lain turun ke bawah mencari Ikan, saya mengobrol sambil mengebaskan-ngebaskan kipas agar bara tetap menyala dalam pembakaran ikan, terdengar obrolan Alya, Jovita, Shania dan Kitin /@christinaloviannabakara (yang nanti menemani perjalan kami di Bitung esok harinya).
Mengobrol tentang filosofi Kopi yang mereka minum dan obrolan Puisi ringan Bersama Kak Roy /@roymaltus.dagasou ,adalah kawan yang saya kenal pas di bus dari Palu menuju Manado, kami mengobrol tentang buku, perjalanan dan hal unik lainya, beliau menyampaikan pada kami “Jadikan Lautan sebagai Kawan”, beliau sangat mengenal lautan saya rasa, beliau berasal dari Maluku, dibalik tampilan yang ekstentrik beliau menyampaikan bentuk kekhawatiran dan motivasi kepada kami berempat (Alya, Jo, Dimas dan Saya) agar tetap saling menjaga dalam perjalanan.
Makanan sudah Siap, seakan Lomba makan pun telah dimulai, setiap orang sudah bersiap dengan ancang-ancangnya ditempat, kami makan dengan sambal yang begitu pedas, ditanah Manado ini semua makan tidak jauh dari rasa pedas, sebuah pepatah selalu muncul dalam menyantap makanan pedas “disini Torang lebih baik harga bensin mahal dari pada harga Rica (cabai) mahal)"
BITUNG
“Pelabuhan terbesar ketiga” yang saya ingat dari perkataan seorang bapak, yang rumahnya kami tinggali saat singgah disana. Suara burung mengantar Jiwa untuk segera memulai hari dan terbangun, mengingatkan bahwa hari ini kami harus berangkat ke Bitung untuk mengcek jadwal keberangkatan
tak ada persiapan lebih bagi Alya, Dimas,Jo, Kitin dan saya, kita hanya membasuh muka, dan siap untuk berangkat, perjalanan yang diawali dengan langkah kaki dan menaiki angkutan Kota, ada yang special disini, tempat duduknya menhadap kedepan seperti saat kita menaiki bis, dan ini yang paling special, suara musiknya keras menggelegar, 3 Angkutan Kota berkumpul dalam satu tempat, sudah seperti konser band indie, acara 17 Agutusan atau Dangdut Hajatan, Angkutan ini mengatar kami ke sebuah terminal yang nantinya kita menaiki bus yang tidak kalah menggelegar suaranya menuju pelabuhan Bitung.
Sesampainya di Bitung, kami tidak mendapat informasi yang pasti, kata seorang bapak " Besok ke Kantor PELNI dek". Kitin punya ide brilian, dari pada kita pulang lagi ke Manado, lebih baik menyebrang ke Lembeh, ke rumah kawan Kitin. Ada yang cukup lucu, saat kami menyebrang menuju Lembeh Alya dihampiri seorang Omah dan menjodohkanya dengan anaknya yang bekerja di Jakarta, itulah yang kelak menjadi ledekan kami terhadap Alya.
![]() |
Pisang plus cabenya, luar biasa. |
Disini ada monument Trikora, monument pembebasan papua yang dipimpin Bapak Soeharto, beserta pesawat bekas pembebasan saat itu, disamping monument ada sebuah warung kecil mirip cafe yang menyediakan makanan khas Bitung, adalah sebuah pisang goreng dengan sambal yang manis pedas, ini adalah warungya orang tua kawan Kitin, Kami diberi makan dan Minum seraya menunggu senja
hal yang paling menegejutkan adalah kita disuruh untuk tinggal di sebuah rumah yang bagus, rumah Orang tua Kawan Kitin, kata Bapak “tinggal disini saja, jarang diisi, bapak dan ibu sering diwarung”.
TELEPON
Senja telah turun, kami melihat warna langit yang mulai berubah, brrrrzzz brrzzzz, getaran handphone disaku terasa, Ibu menelepon, jarang sekali Orang tua saya menelepon, Perbincangan saya terjemahkan “Kopi luwak, White Kopi, passwordnya?” Saya berucap seraya mengangat telepon “Kopi tidak bikin kembung” jawabnya dengan dilanjut bertanya "Bagaimana sehat? uang masih ada?” , “sehat, tenang jangan khawatir” jawab Saya, “Syukurlah, hati-hati dijalan, kalau ada apa-apa bilang, assalamualaikum”, “Iya, salam ke Bapak,anaknya sang pengelana mau keperbatasan ahaha, wa'alaikumsallam ”,
Senja telah turun, kami melihat warna langit yang mulai berubah, brrrrzzz brrzzzz, getaran handphone disaku terasa, Ibu menelepon, jarang sekali Orang tua saya menelepon, Perbincangan saya terjemahkan “Kopi luwak, White Kopi, passwordnya?” Saya berucap seraya mengangat telepon “Kopi tidak bikin kembung” jawabnya dengan dilanjut bertanya "Bagaimana sehat? uang masih ada?” , “sehat, tenang jangan khawatir” jawab Saya, “Syukurlah, hati-hati dijalan, kalau ada apa-apa bilang, assalamualaikum”, “Iya, salam ke Bapak,anaknya sang pengelana mau keperbatasan ahaha, wa'alaikumsallam ”,
Obrolan saya dengan orang tua, pasti diselingi dengan hal-hal yang sedikit konyol, mungkin hal yang aneh atau disebut tidak sopan, bagi sebagian orang, tapi itulah yang sering kami lakukan. Oh iya orang tua saya tidak pernah melarang apapaun yang saya lakukan dan inginkan, selama itu bisa ditanggung oleh saya sendiri beliau bebaskan, pepatah yang Orang tua saya selalau diingat “Kalau Melakukan apapun diatanggung sendiri, bebas mau melakukan apapun , mau hal baik atau tidak bebas kalau melakukan sesuatu yang kurang baik, kamu malu dan merasakan sendiri, Orang tua hanya kebawa-bawa saja” Itu adalah pepatah terbaik sepanajng hidup yang saya dapatkan, bahwa Orang tua saya tidak mau hidup anaknya terkekang oleh apapun, membiarkan anaknya tahu dengan menagalami sendiri, bukan atas dasar ucapan , atau nasihat, inilah yang membuat saya lebih ingin mengalami daripada mendengar cerita orang, pepatah ini yang akan saya terapkan kembali kepada anak saya kelak suatu hari.
Itulah mengapa saya kurang suka diatur saat menjalin hubungan dengan seseorang, dengan tidak boleh ini, tidak boleh itu, tanpa alasan yang jelas, jika kamu menyukai seseorang biarkanlah dia seperti itu, itulah rasa, bukan kamu ingin dia seperti yang kamu inginkan, berarti kamu mencintai diri sendiri dan yang paling menurut saya jahat adalah kamu menerima Cinta atau mempertahankan cinta seseorang terhadapmu atas dasar belas kasihan. Malampun tiba, kami habiskan dengan menonton televisi seraya mengobrol kesana kemari.
SURGA KECIL
Atas rasa penasaran kami berniat mengelilingi pulau yang cukup bessar ini dengan menyewa 2 motor, Alya Bersama Dimas dalam satu motor, Jo, Kitin dan saya dalam satu motor lainya, kami bertiga dengan alasan logis bahwa kami bertiga berbobot ringan, Maaf Alya dan Dimas, ahaha.
Atas rasa penasaran kami berniat mengelilingi pulau yang cukup bessar ini dengan menyewa 2 motor, Alya Bersama Dimas dalam satu motor, Jo, Kitin dan saya dalam satu motor lainya, kami bertiga dengan alasan logis bahwa kami bertiga berbobot ringan, Maaf Alya dan Dimas, ahaha.
Kami menyusuri pulau sepanjang jalan dari rumah yang masih rapat sampai yang sudah jarang, dan berhenti disebuah monument patung Yesus yang menjulang cukup tinggi, oh iya infrastruktur disini cukup bagus, setelah kita mngabadikan moment, beristirahat disebuah warung kecil, dengan seorang bapak, kami membeli makan dan minum, bapak menawarkan untuk kita menyebrang pulau, beliau menelpon kawanya yang dibibir pantai dan menawarkan harga yang murah bagi kami untuk menyebrang.
Pulau kecil ini sangat mengagumkan, dengan pasir sangat putih indah, yang hanya bisa kami kunjungi saat air surut, kekaguman kami pun bbertambah saat saya menemukan Banyak terumbu karang hidup, asal kamu tahu , dengan air hanya sebatas lutut saja kita bisa melihat terumbu karang, namun ada rasa sedikit kecewa saat kita sadar bahwa kacamata Snorkling Alya tidak terbawa, dan kekecewaan kami kedua adalah, tidak membawa kamera anti air, kami hanya bisa melihat dengan mata telanjang yang sedikit buram, terumbu karang ini sekaan memberikan celah pasir untuk kami berjala melihat lihat Mereka, ini seakan d Taman terumbu karang, Dimas lebih memilih tidak turun dan menikmati angin seraya bersandar pada batu, Cuman kami berempat yang turun ke air, saya punya ide untuk melihat Terumbu Karang dengan jelas, yaitu dengan Botol Plastik, yang saya bawa, cukup jelaslah untuk menikmati sajian alam ini, saya selalu membawa botol plastik yang saya ambil dibibir pantai, untuk diisi pasir dan dibawa pulang.
Ini adalah ritual aneh yang sering saya lakukan “Ya tuhan, beserta alam, saya minta ya sedikit pasir, agar saya ingat pernah kesini dan semoga bisa kesini lagi”, ini saya lakukan juga saat perjalanan panjang ini.
![]() |
Menuju "Surga Kecil". |
![]() |
No Trash, No Tourist except Us. |
![]() |
Kebiasaan koga mengambil pasir-pasir di tempat yang ia kunjungi dan akan berlanjut di kepulauan sangihe dan miangas beberapa minggu kedepan. |
Cerita ini akan berlanjut pada post blog selanjutnya. Banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah menemani kami dalam perjalanan ini. Rasa kekeluargaan yang saya rasakan sungguh luar biasa, mau kenal tidak kenal . Pada akhirnya torang semua bersaudara. Hal-hal menyenangkan lainnya tanpa disadari akan berlanjut hingga kami sampai Miangas pun sebaliknya. Tunggu cerita selanjutnya ya!
Spread the Love!
Alya.