Salappa, Tempat keluarga baruku berada.

December 26, 2018

Hari 1 – Menuju Padang

Berkumpul saling mengenal satu sama lain , sambil menunggu pesawat boarding. 
Perjalanan ini dimulai dengan kami para peserta kegiatan Youcan empower for Nation berkumpul di bandara Soekarno- Hatta. Menggunakan salah satu maskapai yang sering dellay, maskapai kami pun juga ikutan dellay, jam 10 malam, kami baru berangkat, berawal dari jam keberangkatan yaitu 4 sore. Nadia yang pergi bersamaku hendak berhenti ditengah karena mendapat kabar berita dari keluarga bahwa ayahnya hendak di operasi. Tetapi dengan bismillah kami bertolak ke Padang. Saat jam 1 malam kami sampai dan langsung mengambil posisi untuk beristirahat di pelataran bandara. Menginap disana.


HARI 2 – Menuju Siberut, Desa Muntei

Pagi buta, kami bangun dan mempersiapkan diri untuk menuju pelabuhan mentawai fast menggunakan mini bus avanza, diisi oleh enam orang. Ada aku, rafael, Nadia, kak Sinthia dan kak Farah seingatku. Langsung saja kami berangkat menuju pelabuhan. Aku yang awalnya tidak biasa beristirahat di bandara merasa agak pegal-pegal. Sebelumnya sekitar jam dua subuh kami menyempatkan untuk memesan nasi padang dan meminta untuk dikirim ke bandara. Nasi padang yang super nikmat, sebelum akhirnya aku kembali terlelap. Setelah sampai aku menyempatkan untuk beristirahat sebelum akhirnya terbangun oleh suara orang-orang yang sedang melaksanakan shalat subuh berjamaah. Jam tujuh tepat kapal fast boat langsung berangkat menuju pulau siberut sebelumnya akan melipir sejenak di pelabuhan muara sika. 


Meninggalkan padang menggunakan Mentawai Fast. 

Pemandafangan pelabuhan di Muara Sika.

Di muara sika aku menyempatkan diri untuk membeli nasi bungkus. Kami sampai di pulau siberut selatan jam 3 siang. Menyempatkan melihat situasi pelabuhan fast boat siberut sekitar lalu  beristirahat sejenak di ruang tunggu di pelabuhan. Kami menggunakan mobi pick up menuju kantor desa muntei, tempat untuk meletakkan barang donasi dan beristirrahat disana. Waktu berjalan hingga sore hari saat aku dan kak irfa, salah satu peserta volunteer berjalan-jalan sejenak di pantai sungai ( kata bapak-bapak setempat).  Hening terasa saat aku dan kak irfa memilih diam sejenak. Nadia juga  akhirnya memilih ikut bergabung. Hening kembali terjadi, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing. Rupanya benar dugaanku. Itu suara babi, babi hutan sepertinya dengan boongnya yang hitam. Sejenak kami kembali ke posko. Aku, Sandri, Kak Katia, Kak Irfa dan Dafa memilih untuk pergi ke pantai laut. Kami berjalan melalui jalanan bersemen. 


Melewati posko KKN univ padang, mentawai ecotouris, dan rumah warga khas mentawai, tradisional sekali pikirku. Setelah puas bermenung di dermaga. Kami memutuskan untuk bermain di pantai. Akhirnya aku, sandri , Kak Katia , Kan Shintia , Dafa dan Aldi memutuskan untuk ke pantai bersama. Dengar –dengar cukup jauh berjalan kaki ke pantai. Tapi memang dasar kami yang pejalan akhirnya sampai pula di pantai sejenak kulihat ada rumah tradisional yang berdiri di pinggir dengan hammock yang ditiduri mas-mas, kupikir ia yang memiliki sampan-sampan yang terparkir di pantai. Sandri, yang mulanya memiliki ide untuk jalan-jalan ke keramba yang mengambang tak jauh dari pantai yang kami kunjungi. Memang benar dugaanku, Sandri meminta tolong abang-abang yang sedang bersantai di hammock untuk membawa kami ke keramba yang berada di tangah laut. Sayang karena awalnya tak terpikirkan untuk berenang, aku memilih untuk hanya bermain di keramba. Disana kami bertemu dengan anak-anak KKN UNAND. 




Sepintas aku kepikiran dengan kelompok KKN-ku. Kami berkenalan. Aku lupa berkenalan dengan siapa saja, ada yang dari medan, asli pekan baru, dan memang ada juga yang berasal dari Padang. Setelahnya, kami berfoto bersama sebelum akhirnya beberapa dari mereka memilih untuk pulang menggunakan sampan yang dipinjam dari warga. “Kami jalan-jalan hemat kak, kami pelampung minjam, sampan juga minjam”. Sejurus selanjutnya kami berjalan-jalan di jalanan desa Muntei. Aku yang sedari tadi sudah naksir dengan rumah adat yang ada, langsung meminta tolong Sandri untuk memfotokan aku di depan rumah. Tiba-tiba seorang bapak keluar dan meminta aku untuk berfoto lebih dekat lagi dengan rumahnya. “Anai leuita”. Sapa bapak tersebut. Aku pun bingung tidak tahu harus membalas apa. “Kalau di Mentawai bilangnya anai leuita”. Kata bapak tersebut mencoba menjelaskan kepadaku. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan segerombolan anak muda desa Muntei. “Kak boleh kami minta foto?”. Lalu anak itu mengeluarkan handphone-nya dan memfoto kami. Aku pun berinisiatif untuk mengajak mereka berfoto bersama. Setelahnya kami kembali ke posko di kantor kepala desa Muntei sebelum akhirnya berangkat menuju dusun Salappa’. 



Hari 3 – Menuju Salappa’

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 3 pagi, kami sudah bersiap untuk berangkat menuju dusun Salappa’. Setelah shalat subuh, kami langsung menaruh barang-barang donasi ke atas pompong. Tak lupa, carrier-carrier dan perlengkapan tambahan. Perjalanan selama 3 jam kami tempuh dengan pompong. Melewati sungai yang berwarna cokelat, dengan arus yang tenang. Beberapa kali kulihat kayu-kayu yang mencuat ke atas. 2 kali kami sempat berhenti, kali pertama karena oli yang bocor dan kedua kalinya aku, ferren, dan filda hendak ke kamar kecil. Tak lupa aku yang berada di baris belakang menyedok air karena beberapa kali air masuk ke pompong akibat pompong yang harusnya diisi 4-5 orang diisi menjadi 7 orang. 

Pak Andreas yang mengantar kami menyarankan kami untuk berjalan kaki dari desa Baikelok. Pompong mulai melipir saat kulihat bapak menunggu kami. “kebetulan nanti kalian berjalan bersama pak kepala dusun ya, air mulai surut agak susah diakses.” Kata pak Andreas sembari mendayung agar pompong melipir ke samping. Aku naik ke tempat bapak-bapak tersebut menggunakan papan kayu, dibantu oleh pak markus. Pak markus sempat bilang, “kalau misal ada yang tinggal di rumah bapak, bapak mohon maaf ya, lagi kerja.” Kata pak markus tidak enak. Sebelum berangkat ke dusun salappa’, kami bertemu dengan bapak kepala dusun “kalian sudah makan semua?” tanya pak kepala dusun. Kami hanya tersenyum sambil menggeleng. Saat di Baikelok, kami diberi sagu oleh warga-warga sekitar. Sagu sipurut namanya karena sagu tersebut dimasak dengan parutan kelapa, dibungkus menggunakan daun sagu, dibakar di dalam bambu. 

Di perjalanan kami menyempatkan untuk mengobrol sejenak, dari obrolan kami diketahui bahwa pak dusun memiliki seorang anak yang sedang menempuh pendidikan di UKI dengan jurusan yang sama denganku, Arsitektur. Dari pak kepala dusun pula, ku ketahui sudah jarang ada sikerei di desa Salappa’ terlebih orang-orang yang memiliki tatto khas mentawai di badannya. “sakit, orang sudah tidak mau lagi pakai tatto.” Kata pak kepala dusun. Ada dilema di dalam hatiku. Sebuah kebudayaan yang sebentar lagi punah. Di lain sisi, juga tak bisa memaksakan sepenuhnya mengenai suatu budaya yang menurut masyarakatnya tidak perlu dilanjutkan atau mungkin mendekati kata “menyiksa” untuk mereka. Pun dengan keberadaan sikerei yang tersohor itu, sudah tidak ada yang melanjutkan tradisinya. “sudah jarang ada sikerei, anak-anak muda jaman sekarang tidak ada yang bisa memenuhi persyaratannya.”jelas pak kepala dusun. Di tengah jalan pun aku dan teman-teman berdiskusi tentang masalah yang dihadapi oleh masyarakat dusun Salappa’. Salah satunya air bersih. Tetapi sudah kujelaskan tujuan kami juga salah satunya adalah memberikan penyuluhan filtrasi air bersih. Dan beberapa program lainnya yang diharapkan akan membantu masyarakat Salappa’.


Di tengah jalan kami bertemu dengan ibu-ibu yang membawa gerobak berisi manggis hutan. Kutahu karena bentuknya yang kecil, pinang dan sagu hasil ibu itu meladang. Beberapa teman sudah merasa capek. Setelah beberapa saat kami bertemu dengan anak SD yang baru pulang sekolah. “dia pulang sendiri pak?” tanya kami pada pak lurah. “Ya, desanya di Baikelok, sudah biasa dia pulang sendiri.” Kami sempat berbincang dengan pak lurah. Tak terasa kami sudah sampai di jembatan tanda kami sudah sampai di penghujung awal dusun Salappa’. Kedatangan kami disambut dengan tatapan warga yang melihat kami sambil tersenyum ramah.  Serasa turis asing. Kudapati juga dari percakapan kami sebelumnya dengan pak lurah masyarakat Salappa’ sangat senang mendengar kami yang akan datang. Dari percakapan kami pula, kuketahui bahwa anak-anak di Salappa’ sudah banyak yang menempuh pendidikan tinggi, tapi banyak yang memilih untuk menetap di luar kampung. Sedih di satu sisi mengingat kampung yang membesarkan mereka dilupakan begitu saja setelah merasakan kehidupan di kota. Hidup itu pilihan memang, tapi kembali lagi dimana rasa ingin membangun itu harus hadir ketika hendak mancapai kesuksesan. Kami berjalan di atas jalanan setapak yang sudah diapisi semen menuju balai pustaka tempat program-program akan dilaksanakan nantinya. Di seberang sana kami melihat rombongan pompong pertama sudah sampai bersama anak-anak kecil yang mengantarkan mereka sampai balai pustaka. 




Terlihat beberapa masyarakat yang sudah duduk manis di selasar balai. Sesaat kulihat bentuk balai hampir sama pada rumah-rumah yang ada di mentawai pada umumnya. Selalu terdapat kursi yang terbuat dari kayu mengelilingi selasar yang terikat pada kolom bangunan. Pikirku, memang itu untuk bersosialisasi dan tempat berdialog masyarakat sekitar. Aku bertemu dengan seorang gadis bernama Cacan. Ia menanyakan bagaimana perjalannanku yang selama satu jam kutempuh dari desa Baikelok hingga ke dusun Salappa. Ku ketahui, bahwa cacan hendak ingin melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Hendak mengambil PGSD katanya. “kenapa harus mengambil PGSD?” kataku sambil kami yang diantar Cacan menuju SDN 4 Salappa. “guru-guru di Salappa sangat minim dan pendidikan SD di Salappa sangat kurang” jawabnya sambil memandu kami. Kami sempat melihat balai adat dusun salappa, seorang nenek dengan pakaian khas sikerei sedang duduk. Kata cacan dia sudah selesai menyembuhkan orang dan sedang beristirahat. “memangnya sikerei itu seperti apa?” tanyaku. Cacan menjawab, “sikerei itu berfungsi untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit karena hal-hal yang tidak kita lihat.” Aku juga bertemu dengan seorang gadis bernama Helena yang telah menempuh pendidikan pergururan tinggi di padang selama setahun bersama cacan ia memandu kami hingga ke ujung dusun salappa. Kulihat pada dasarnya sudah terdapat aliran air dari pemerintah untuk air bersih, namun sayang terkadang air tesebut mati. Ku juga baru tahu ternyata di dusun tersebut memang tidak ada signal tetapi ada wifi yang disediakan oleh negara. Itupun hidupnya tergantung sinar matahari yang ada karena menggunakan tenaga surya.




Setelah beberapa rombongan berkumpul di balai dusun, maka pak kepala dusun memulai membuka acara yang berakhir pada pembagian keluarga. Satu-persatu nama dipanggil. “Alya Lihan dengan bapak Markus” sebut bapak kepala dusun. Seorang ibu dengan menggendong anaknya , bertubuh gempal dengan anak di gendong di sebelah kanan, menyambutku. Ialah mamaku, ibu baruku , aku diajak ke rumahnya yang tak jauh dari bapaipustaka itu. Pekenlan singkat nan canggung itu memberikan aku gerrak sedikit untuk bisa berkenalan dengan anaknya yang SD bernama Rio dan beberapa temannya. Aku pun berinisiatif untuk membukakan buku tentang lautan.


Jelas kulihat masyarakat dusun salappa ini jauh dari laut, kecuali mereka harus turun (Bahasa disana untuk orang dusun salappa ke desa muntei) selama 3 jam. Barulah mereka menemukaan laut. Buku yang nadia sempat bawa untuk dibacakan kepada anak-anak yang ada. Tentang makhluk hidup yang ada di laut. Aku ingin membacakan untuk mereka, namun, mereka lebih suka untuk membaca sendiri, dengan terpatah-paah, mulailah mereka untuk membaca kalimat satu persatu. Senang rasanya melihat mereka mau membaca dan penasarran dengan apa yang ada. Akupun tersenyum melihat hal itu, ikut senang. 

Hari ke 4 - Ulat Sagu


Pagi yang nyaman, ketika aku  bangun yang sudah disediakan getek (keladi dicampur kelapa dan sagu sipurut) oleh baboi, malam sebelumnya aku sempat belajar sedikit dengan Neneu dan Rio untuk dapat berbahasa mentawai, Setelah beberapa lama,  kami pun memulai hari dengan upacara bendera di hari kamis, tak apa lah.
Kami ingin merayakan persatuan ini, tidak perlu selalu hari senin saja kan? Aku pun  menjadi pengatur barisan untuk anak kelas 4 SD. Momen yang paling ku ingat adalah ketika menaikan bendera merah putih dengan diiringi lagu indonesia raya.


Tak teradsa air matakku jatuh, mendengar suara cempreng anak-anak SD ini menyanyikan lagu indonesia raya dengan semangat. Dalam hatiku ini terbesit. “apakah pendidikan di indonesia ini sudah adil? “. Walaupun begitu, mereka masih semangat untuk mencintai negri ini waaupun nasib pendidikannya sangat berbeda dengan teman-teman sebaya mereka yang berada di Jakarta, jangankan di jakarta mungkin dengan di padang sudah berbeda. Disaat teman sebayanya sudah dapat belajar berbahasa inggris saat kelas 1 , mereka baaru belajar saat kelas 3 , 4 atau 5.
Aku tak kuasa menahan air mata, yang ku tahan , mengakibatkan hidungku meler, asambil mengusap hidung aku masih tetap dengan posisi hormat. Salah satu kolega ku memperhatikanku. Aku pun agak sediikit malu. Terlalu sentimental pikirku, tapi tak apalah , air mata ini jatuh untuk mereka yang besar dan hidup di dusun salappa ini.


Hari ini aku yang di divisi lingkungan tidak ada program, sehingga aku , kak Sinthia, kak Nurul dan Nadia hanya berkeliling kampung sambl menyiapkan peralatan penyaringan air di balai pustaka untuk di presentasikan. Datang  seorang bapak dengan membawa hasil sagu berikut dengan ulat sagunya, kami yang penasaran melihat bentuk ulat sagu tersebut. Memang dasar lidah lancang ini, aku menyeletuk ingin mencobanya. Benar saja bapak kepala dusun mengamini sambil mempraktikan bagaimana makan ulat sagu yang baik dan benar . Pertama, kepalanya yang berwarna hitam harus dicopot terlebih dahulu, aku tidak tahu alasannya. Kata pak kepala dusun “ biar nanti pas makan ulatnya ga hidup di dapam perut lalu memakan kita” ku anggap hal itu mungkin juga sebagai gurauan, kami hanya tertawa. Masing menggeliat ulat itu ketika kepalanya di copot. Kedua,  masukan kemulut, kunyah dan telan. Gampang kan?


Oh tentu tidak, dengan mental yang tidak sekuat baja ini, aku menguatkan mental.  Kepala sudah diputus oleh pak kepala dusun. Mulailah aku memasukan ulat malang itu ke dalam mulut. Rasa awalnya tentu saja geli. Aku sudah ingin mencob aulat ini sejak melihat presenter di jejak petuaang jaman aku kecil mempraktekan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan, dan inilah aku,  yang mencoba ulat sagu itu. Rasanya gurih dan lumayan manis pada akhirnya, ulat ini tidak bisa hancur ketika di kunyah, masih lembek dan alot, sehingga aku memutuskan untuk meelan saja dan meminum ait putih setelahnya. Pengalaman yang luar biasa! Untukku, tidak untuk kak nurul, nadia dan kak sintia yang sedari tadi melihat sambil mengabadikan momen tersebut, mereka terlihat jjik dan hanya mempelototiku mengunyah ulat itu.

Siangnya, aku kembali ke rumah, untuk makan siang bersama sandi. Ternyata ulat yang didapat bapak itu dibagikan ke ruamah yang dekat, usut punya usut bapak itu tinggal di seberang rumah ku maka keluargaku mendapatkan jatahnya. Sandi yang tadinya melihat videoku makan ingin mencobanya dan memintaku untuk mengabadikan momen tersebut dengan ponsel pribadinya.


Sore yang sangat sibuk ketika kami disibukkan dengan pemeriksaan kesehatan yang berjalan sebelumnya,  tiba-tiba kulihat muka sandri yang memerah, alergi katanya, terpaksa dokter Ica langsung memberikan obat untuk sandri yaitu pil dan bedak tabur anti gatal untuk dia. Usut punya usut sandri sendiri punya alergi pada udang, sedangkan ulat saagu terkenal dengan protein yang tinggi, alamat jadilah sandi yang gatal-gatal akibat makan ulat tersebut.Malam yang temaram, ditemani dengan lampu yang remang-remang kami makan malam dirumah  dan berbincang sedikit dengan keluarga sebelum akhirnya briefing dan tidur.






Hari ke 5- Air bersih 

Hari ini adalah program kelompok lingkungan , pagi yangsibuk untuk memperkenalkan anak-anak SD mengenai pentingnya lingkungan dan membuat daur ulang sampah. Aku memberikan penyuluhan mengenai daur ulang sampah dari botoh Aqua.
Nadia yang memberikan cerita mengenai laut dan pemilahan sampah untuk nak kelas 3 dan 4 sementara aku di kelas 5 dan 6. Bibit sawi ku bawa untuk mereka tanam di pot yang sudah mereka buat.




                                                                                          
Siang harinya tim lingkungan memberikan penyuluhan mengenai air bersih di balai pustaka, alhamdulillah prototipe yang kami buat yaitu penyaringan air bersih berjalan, air yang dialirkan mungkin tidak berubah warna , namun secara bau sudah lebih jerning dan bau pasir sudah tidak ada. Walaupun masih prototipe, setidaknya kami sudah berjuang untuk memperkenakan filtrasi air bersih untuk masyarakat salappa gunakan ketika banjir nantinya kembali lagi. Selain itu, kami juga menyarankan sikatgigi menggunakan pasta gigi dari minyak kelapa, yang ini agak kocak sih karena adel yang memperagakan belum terbiasa dengan minyak kelapa ini, sehingga agak aneh baginya untuk mempraktekan. 



Terakhir adalah penanaman kentang sebagai makanan pokok tambahan, Usut punya usut, kentang ini sudah pernah di tanam di dusun Salappa, namun tidak berhasil. Pantas saja, kentang itu ditanam seutuhnya, tidak disisakan setengahnya agar nanti tunah baru akan muncul.Orang-orang di Salappa pada dasarnya tahu dan paham, namun kurangny aperhatian pemerintah dan masyarraka sekitar tidak memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada mereka. Maka dari itu program ini ada baiknya karena bermanfaat bagi masyarakat yang tidak selalu turun ke desa Muntei.


Sorenya aku sempatkan istirahat sejenak, “Alyaa! Main yuk!” kudengar itu adalah suara Nadia. Ya, Nadia memang sedang berada di rumahku dengan menggunakan jas ujan dan keranjang toktuk yang ada di belakangnya. Sungguh lucu sekali.  Memang saat itu sedang hujan, jadilah aku , nadia, sandri dan Aldi makan toktuk yang dibawa nadia yang didapat dari bapak tetangga sebelah, entahbagaimana pula carranya ia dapta. Sandir mulai berinisiatif untuk memutar lagu khas kalimantan. Kamipun menari bersama, baboipun sempat ikut hahah, sungguh lucu momen saat itu, menurut kami itu adalah spre terakhir yang harus berlalu dengan indah dan seru.



Puas makan toktuk sekitar 4 atau 5 buah akudan nadia mengantar keranjang, dan akhirnya meilipir sejenak di rumah om timo , sang penjual letchu. Aku sempat memilih letchu yang ingin ku bawa. Satu untukku, ibu dan ayahku. Setelahnya aku bercengkrama dengan Cacan.





Malam pun tiba, kami berkumpul di gereja untuk santap malam bersama, Kusadari ada kentang di gulai santap malam itu, sepertinya warga dusun lebih memilih untuk memasak langsung kentang itu, sebelumnya aku diberi oleh- oleh kalung dari baboi yang juga diberikannya kepada anaknya , Frederika yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta , sambil nnton film. Film Laskar pelangi lah yang di putar, namun , karena sudah larut sekali para anak kecilpun tertidur hingga akhirnya berakhirnya acara kegiatan kami.



Terlalu cepat untuk berakhir

Aku menulis cerita ini diatas pompong yang sedang membawa kami ke ddesa Muntei agar setelahnya kami pulang ke padang. Cuaca hari ini sangan maraihet (panas). Subuh terakhirku di desa Salappa di guncang oleh gempa yang lumayan keras sekitar jam 3 pagi. Aku sontak terbangun dan langsung panik kabur keluar. Namun, anehnya tidak ada orang sama sekali di luar, akupun bingung. Tak seberapa lama kemudian, pak markus keluar dan berkata “Gempa yang lumayan kuat tadi ya? “. Aku mengangguk “ iya pak”. Bagaimana tidak?

 Ketika hendak keluar, kulihat kaca yang di gantung di dinding bergoncang dengan keras. Kelambu yag menutupku juga bergoyang. “ Sering terjadi gempa ya pak ? “ . tanyaku. “ya bisa dibilang begitu “ pada akhirnya kami kembali ke kamar masing-masing . sebelum masuk bappak sempat bilang “ Jangan lupa Berdoa nak sebelum tidur” Kata Bapak. Aku yang masih ngantuk langsung kembali ke kamar dan melanjutkan tidurku. Sekitar oukul 5 lewat aku yang tadinya tidak tenang dan panik bangun ddan langsung melaksanakan shaat subuh. Bablas euy haha.

Pagi ini aku hanya sepat berbincang bersama bapak. Tidak banyak yang kami perbincangkan. Karena acara Tv dan majalahpun tidak ada. Tv dan jaringan telepon pun juga tak ada. Hanya hal-hal dasar yang dapat kami perbincangkan aku mengyadari, bahwa hal-hal seperti “Hari ini makan apa?”. “kegiatan hari ini apa?” akan membuat kami berbincng banyak tidak perlu terlalu sering, dan hal itulah yang menguatkan rasa kekeluargaan. Setelah puas berbincang dan bermain bersama epin,nama kevil dari kevin , anak bapak markus dan bersaama aku langsung melakukan ritual pagi yang biasa kulakukan , mandi , setelahnya segala ku rapikan carrierku, membereskan baju. Baju yang belum terlipat rapi, ku ambil baju-baju yang digantung baboi di selasar ruamh, dan jua yyang digantung didalam kamar. Setelah puas melihat bayangan di cermin akupun duduk di selasar. Tak lama itu bu rosanna mengeluarkan gelas kaca dan tempat air minum. Bu rosanna mengeluarkan mi, nasi, dan berselang setelahnta kuah untuk mi. “ Nanti kalau dicampur kuah sama minya ngembang dia” . Kata bu Rosanna yang tahu tatapan heranku. Sandri yang sudah mandi langsung singgah dirumah ku untuk makan.. Rio yag sudah siap berpakaian sekolah , tengah rambut disisir rapi juga muka yang sudah di tabur bedak putih. Neneu juga ikut di acara sarapan pagi kami. Makan pagi gterakhirku di Salappa, makan bersama keluarga membuatku agak sedih. Nasi goreng hangat terhidang diatas tikar rotan yang bu rosana buat Sandri “setelah ini kita makan toktu ya!” kata bapak sambil menyuapi nasinya. Aku yang senang durian ini langsung tersenyum.

Sandri langsung mengejek. “ Awas pak makin nambah beratnya, dia mau nambah sembilan kilo”. Sontak semuanya langsung tertawa. Aku hanya bisa nyengir saja. “wah pak, nadia pasti suka toktuk”. Sahutku. Sejenak neneu yang hendak pergi ke sekolah diminta untuk memanggil Nadi di rumahnya, karena jika hendak kesekolah dapat melewati rumah Nadia. Lama kami menunggu Nadia tidak kunjung datang. Maka akupun memanggil Nadia di rumahnya aku berjalan melewati jalanan semua yang lurus. Sejenis bapak cacan, memanggilku dengan bahasa Menttawai. “ Kafa Uei?” . Aku yang seudah 2 hari di mentawai menjawab. “Ana humai ka uma Nadia”. Aku hendak pergi ke rumah Nadia merekapun tertawa sambil mengangguk. Aku yang sampai di rumah Nadia bersalaman dan berbincang sejenak. Bappak Matius Satoimo bersama ibu Yenny juga anaknya Glen. Baru ku tahu ternyata  pak Matius pernah tinggal di jalan A. Yani di dekat santa maria dan Santo Yoseph. Bapak Matius juga  bercerita bahwa tadi malam ternyata Nadia tidak bangunn saat gempa terjadi akupun tertawa terbahak-bahak. Betapa tidak, subuh tadi malam aku sangat panik sementara Nadia dengan anteng tidur tidak merasakan apapun. “Kalau sudah rubuh mungkin baru bangun dia pak” candaku. Bapak Matius pun juga menawarkan aku Sagu Sipurut. “Dicocol di kuah gulai ini pak?” tanyaku. “Ya memang untuk sagu ini.” Kata Bapak Matius. Kubuka Bungkus Sagu sipurut tersebut ku potek setengahnya. Lalu ku cocol di kuah gulai kental yang berwarna kuning kehijauan.

Nikmat! Itu yang kupikir saat pertama kalinya kurasakan masakan ibu Yenny. Setelah beberapa saat glen, nadia dan ibu Yenny mandi. Aku pun langsung terpikir tas dan barang-barang ku di rumah . oh iya! Harusnya aku kan menggil Nadia. Sejurus kemudian setelah aku memfotokan Nadia dan keluargaanya. Pulang ke arah rumah . Ternyata bapak Markus dan ibu Veronna sudah ada di pustaka. Carrier juga tas kecil ku dibawakan pula. Setelah melihat cukup banyak warga yang berkumpul kami pun langsuung menuju dermaga. Setelah menaruh kami kembali di perpustakaan dan akhirnya bersalaman. Aku awalnya mencoba tegar, namun akhirnya menangis juga. Setelah dippeluk bu rsanna dan melihat teman-temanku  yang juga sedang menangis. Suasana haru langsung hadir. Aku bersalaman dengan Fidelia (Neneu), Rio, Prayogi, Ryan. Anak-anak yang biasa ku ajak main setiap sorenya. Prayogi yang sempat ku tanyakan sampah organik dan non organik. Fidelia dan Rio yang sering ku tanyai bahasa meentawai. Ryan yang senang membaca buku . Aku pun berpamitan dengan Cacan dan Helena.

“Anai kamailu” Aku pulang dulu .

Aku bilang ketika sudah di sampan. Kami adalah rombongan terakhir yang meninggalkan Salappa. Diiringi dengan lambaian tangan warga dusun Salappa. “Ana humai ka Padang!” sahutku hingga kapal pun mengarah sejurus dengan arus yang mengantar kan kami ke muara. Dikapal,  dasar aku dan Nadia yang orangnya bosanan, memutar lagu  bersama  menggunakan speaker wireless ku.




Inilah perjalananku, dengan keluarga dan harapan yang kutinggalkan di Salappa. Pengalaman yang tak terlupakan,  maka hubungan kami tidak hanya sebatas itu saja, aku masih berkomukasi dengaan pak Markus via telpon dan SMS , itupun bila bapak dan keluarga turun ke muntei. Beberapa bulan setelahnya aku bertemu dengan frederika di Bali, kebetulan ia ada studi ekskursi di Bali. Walaupun kami baru bertemu sekali, rasanya sudah lama sekali aku bertemu dengannya. Kuberikan hadiah spesial untuk bapak, baboi, rio dan kevin. Frederika kini ingin menjadi seorang guru di Salappa setelah lulus nanti, kudoakan mimpinya akan lancar. 













Special Thanks to teman-teman yang telah membantu dalam melancarkan program ini, dari pihak youcan, kak Aca, kak Gadis,  ketua delegasi kak Safitri,ketua divisi kak Nurul dan teman-teman yang tidak dapat di sebut satu-persatu, yang jelas langkah awal kita sudah di mulai dari sini. Pihak-pihak yang berbaik hati membagikan foto , Cindy, Filda, Dafa, Aldi, kak Siska, kak Gusti, Kak Safitri, Kak ana dan teman-teman lainnya yang mungkin fotonya juga dipakai disini, Masura bagatta. 

Spread the Love!
Alya.





You Might Also Like

0 comments

Popular Posts