Cerita Singkat di Lombok
November 22, 2020Secepat kilat aku ingin menyelesaikan ceritaku dan Mira dari Lombok setelah perjalanan kami di Sumbawa. Karena masih banyak perjalanan-perjalanan yang aku ceritakan baik tentang awal januari 2020 hingga pertengahan tahun 2020 ini. Sebuah panggilan melalui WhatsApp membuatku semakin semangat, Mira menelpon dan menjabarkan itinerary perjalanan kami untuk menutup tahun 2020 yang cukup banyak tantangan ini, semoga perjalanan selanjutnya akan menyenangkan!
Kami turun dari bus menuju sebuah destinasi yang tidak kami pikirkan sebelumnya, yaitu desa Poto Tano. Debu pasir berterbangan seiring lajunya bus yang kami tumpangi dari terminal pusat di sumbawa besar. Aku dan Mira hanya terdiam, lebih tepatnya bingung. Karena kami tidak merencanakan destinasi ini dan desa ini sangat sepi. Tidak siapa-siapa hanya seorang bapak yang membawa jerigen minyak melihat kami lalu menuju kapalnya.
Aku dan Mira masih terdiam tidak tahu mau memulai dari mana, atau bagaimana kami bisa sampai ke pulau itu?
"Mau kemana dek?" Tanya bapak itu yang sedang memasukan minyak ke dalam tangki kapalnya.
"Kenawa pak" Jawab kami lantang. Karena jarank kami yang di Pelabuhan dengan bapak tersebut cukup jauh.
"Ayo! saya juga ingin ke Kenawa." kata bapak tersebut. Tak lama kemudian seorang ibu-ibu datang menghampiri kapal bapak itu.
"Berapa pak?" tanyaku langsung.
"100 ber 2" kata bapak tersebut. Kami langsung mengangguk. Sebelumnya tas gabungan baju aku dan Mira kami titipkan di rumah bapak tersebut. Bapak Abdul Ghani namanya.
Perjalanan memakan waktu kurang lebih sekitar 15 menit hingga mencapai pulau impian kami. Awalnya aku kira Kenawa itu sama dengan Kanawa yang ada di dekat pulau komodo. Ternyata aku salah besar!
Aku dan Mira pun sempat terheran-heran apakah ini pulau yang kemarin ingin kami kunjungi? ternyata bukan. Pulau ini tak berpenghuni, hanya ada sebuah warung dan tenda para campers disini.
Aku pun langsung turun ke bibir pantai pasir putih yang bersih itu. Mira dibantu pak Abdul turun dari kapal. Pemandangan rumput hijau terhampar dengan bukit yang menjulang tinggi dan garis jalur yang membelah bagian tengahnya.
Karena saat itu sudah agak sore, segera aku dan mira langsung mendaki menuju puncak. Tidak lupa mengabadikan momen-momen di sela-sela perjalanan kami. Hanya ada kami berdua saat itu, sehingga kami sangat senang karena sepi. Akupun saking senangnya sampai berjoget ria karena sepi hahahaha.
Sembari difoto aku melihat sesosok baju hitam yang sedang bawa galon aqua. Ternyata para pekemah yang sudah 1 malam menginap disana. kami sempat bertegur sapa hingga akhirnya aku dan Mira sampai di kaki bukit. Tidak terlalu lama, sekitar 30 menit kami sampai di puncak.
Sepi.
Hanya ada angin barat yang menghembus kencang. Saat itu bulan Januari sedang puncaknya untuk hujan. Untung saja saat kami berada di puncak, tidak hujan, hanya gerimis-gerimis tipis yang tidak terlalu mengganggu.
Ada banyak pemandangan yang kulihat dari puncak, Gunung Rinjani, pulau Sumbawa Besar dan beberapa pulau kecil lainnya yang menjulang dekat dengan kenawa.
Pada saat itu, aku hanya bisa memanjatkan puji syukur telah diberikan kesempatan untuk bisa melihat pemandangan sebagus itu.
Ketika kami hendak turun, kami bertemu dengan pelancong dari Malaysia. Bayangkan, mereka sudah jauh-jauh datang ke Sumbawa dan melihat keindahan yang disuguhkannya.
Aku dan mira turun, lalu menuju sebuah rumah yang terbuat dari bahan recycle. Sebuah proyek hasil kerjasama dari arsitek luar negri.
Pembangunan rumah botol ini dirancang oleh arsitek dari Amerika, Michael Reynolds, yang memelopori Gerakan Rumah Ramah Lingkungan. Rumah botol di Kenawa ini adalah pilot project-nya bersama beberapa relawan. Mereka mengumpulkan segala limbah di sekitar dan membangun rumah berkonsep earthships pertama di Indonesia. Bentuk bangunannya unik. Dan, katanya bakal bisa menjadi rumah bertenaga surya pasif dari barang daur ulang dan material alami. Keren banget ya. Tapi saat kami ke sana, rumahnya kosong begitu aja. Ditinggal terbengkalai, padahal dekorasi tamannya bagus. Hanya beberapa meter jalan kaki menuju pantai, mengarah ke matahari terbit.
Setelahnya aku duduk-duduk di warung dan malah disangka kami pelancong dari Malaysia tadi karena makanannya sudah disiapkan. Aku dan Mira mencari informasi untuk kami bisa ke Lombok sore itu juga. Namun, tidak disarankan karena hari sudah malam dan kemungkinan kendaraan untuk ke Lombok kota tidak ada.
Akhirnya sore itu, aku dan Mira sudah berpamitan dengan pak Abdul gani dan keluarganya. Lalu, aku berbisik kepada Mira. "Mir, malam ini kita menginap disini saja yuk!" ajakku. Akhirnya kami kembali ke rumah pak Abdul Ghani dan numpang nginap disana. Malamnya, kami bertukar cerita dan seorang anak SMP menghampiriku dan Mira. Salah satu upaya, agar ia bisa belajar bahasa inggris apakah dengan memberikan sumber-sumber internet yang bisa ia browsing nantinya agar bisa juga mencari beasiswa di portal-portal tertentu dan tidak semua orang tahu tentang portal-portal tersebut.
Esok paginya kami bangun untuk menjalani shalat subuh dan langsung menuju pelabuhan dengan berjalan kaki. Pak Abdul dan Istri mengantar kami hingga ke pintu gerbang desa Poto Tano. Kami sempat memberikan beberapa imbalan atas kebaikan pak Abdul dan keluarga yang sudah mau kami repotkan.
Sesampainya di Lombok, lantas kami lanjut berjalan menuju pasar dan menaiki kendaraan umum sampai ke Sembalun. Melihat Air terjun di kaki gunung Rinjani. Oh iya, saat itu masih ada sisa-sisa puing dari rumah yang hancur. Kami tidak siap untuk naik ke Rinjani, jadi hanya cukup di kaki gunungnya saja dan juga melihat tenunan sebuah perkumpulan bisnis desa tersebut namanya @jajaqbayan (mungkin bisa dicari di IG).
Nah, setelah kami membeli beberapa kain, kami akhirnya memilih untuk pulang dan beristirahat di penginapan yang kami tawar dengan harga yang cukup murah karena memang tidak ada pengunjung pada saat itu.
Paginya kami kembali ke air terjun Sendang Gile. Nah, setelah puas kami hendak pergi ke air terjun satunya lagi yang tak jauh dari air terjun pertama. Awalnya kami mengikuti apa yang dikatakan dalam sebuah blog untuk menemukan air terjun tersebut. Mengikuti aliran sungai buatan kecil atau irigasi. Sayangnya ada dua percabangan yang membuat kami bingung. Tiba-tiba seorang bapak membawa golok *aku sempat ngeri* datang.
" Mau kemana dek?" tanya bapak itu ramah
"Mau ke air terjun Tiu Kelep pak " kata Mira.
"Oh sejalan, ikuti saja saya" kata bapak itu.
Sambil berjalan kami sempat berbincang dengan bapak itu, ternyata ia ingin mengecek saluran irigasi untuk desanya. Nah, dari pintu air yang tersumbat karena pasir dan sampah alami dari kayu dan daun. Kami diberitahu untuk melanjutkan perjalanan dan menyebrangi sungai.
Saat itu musim hujan sehingga air sungai sangat keruh. dan saat kami melanjutkan perjalanan. Ternyata bukit untuk kami berjalan longsor antara akibat 2 hal. Gempa yang sebelumnya terjadi, atau tergerus sungai. Alhasil jalan yang harus kami lewati sudah tertutup tanah dan pohon yang tumbang.
Kami pun langsung kembali ke tempat bapak itu yang masih mengecek salurannya. Sembari menunggu, aku dan Mira hanya bisa meratapi hasil longsor dari jauh. Namanya juga alam, tak ada yang bisa kita kendalikan.
Akhirnya kami kembali ke titik awal saat bertemu bapak itu. Ia mengambil jalur kanan, jalan pintas menuju desanya. Setelah berterima kasih, aku dan Mira mengambil jalur kiri menuju penginapan kami kembali.
Siangnya langsung saja aku diantar ojek ke pool tempat kami naik bus menuju Terminal Bertais yang dari sana kami sempat ditawarkan untuk naik bus yang harganya lebih mahal dari penduduk lokal. Ah mana mau. Padahal toh kita sama-sama WNI, sama-sama bayar pajak, lalu apa bedanya aku, Mira dan warga lokal lainnya?
Akhirnya aku sama mira memutuskan untuk ke Bertais kembali, duduk sejenak, makan nasi abon yang super duper enak persis di seberangnya Terminal Bertais dekat pasar Mandalika.
Hingga akhirnya kami naik ke kapal menuju Padang Bai. Bertemu bule Australia dan berbincang sebentar sampai akhirnya di Padang Bai dan menuju kosanku yang ada di Denpasar.
Nah, itulah cerita singkatku dan Mira saat menjalani perjalanan kami dari Bali - Lombok -Sumbawa - Poto Tano - Sembalun- Padang Bai - hingga sampai di Denpasar.
Doakan agar kami bisa mengunjungi Sumbawa dan menjalani mimpi-mimpi yang belum sempat terselesaikan yah guys!
PS: Ada cerita lucu sebenarnya, bapak ojek di Sumbawa yang sempat mengantar aku dan Mira ke desa tenun itu sempat menanyakan kabarku saat kami di Lombok, bahkan baru ku tahu motifnya selama ini ia menghubungiku ketika aku sampai di Jakarta. Astaga, ternyata dia punya rasa, Padahal selama ini aku menganggap beliau seperti bapak sendiri, ternyata salah kaprah gengs selama ini! Mira selalu menertawakanku ketika kami mengingat cerita itu hahahahah.
Spread the Love,
Alya.
0 comments