Pagi yang Terlalu Berharga

June 28, 2018

Sebuah perjalanan ada karena ketersengajaan ataupun tidak. Ia hadir jikala hati yang ingin merasakan sesuatu yang baru, merasakan adanya debaran hati dan suntikan adrenalin yang tinggi. 

Perjalanan yang diinisiasi selalu oleh temanku yang ingin bertamasya sederhana, Jovita namanya. Perjalanan yang dimulai dari suatu hari menjelang sore. 2,5 jam lamanya. Ditemani dengan dendang lagu lama, Sheila on 7. Dan juga Kita. 

Pagi yang terlalu berharga bila dilewati begitu saja. Di bukit Asah, kami berkelana, menghidupkan api unggun. Pak nengah yang membantu kami. Amanda juga turut hadir di acara kali ini. Sambil mencoba menghidupkan api, pak nengah menceritakan mengenai dirinya yang telah lama berkecimpung dalam dunia perkemahan, pak nengah sangat humoris. Ia bercerita, pernah bertemu dengan seorang gadis yang berkemah dan mengajak pak nengah untuk bermain kartu remi bersama, ia menolak. Katanya, ia setia pada istri dan anak-anaknya.

Malam semakin larut ketika polusi udara mulai menghampiri. Pada bagian tenda "VIP" ada segerombolan pekemah yang menghidupkan lagu tiktok yang lagi hits hingga terdengar ke dalam tenda kami. Malam menunjukan pukul 22.15 WITA, saatnya untuk bercerita dan beristirahat nantinya dibandingkan kami yang hanya bermain HP bersama dalam satu tenda. Pikirku, itu bisa dilakukan di kosan masing-masing. 

Aneh, rasanya smartphone yang berfungsi sebagai alat membantu malah menjadi alat kebutuhan dan efeknya berimbas pada kami bertiga yang memilih berkemah untuk dekat dengan alam, tetapi masih men-scroll layar HP. Aku pun masih bingung bagaimana cara menghindarinya.

Aku sadar, pada dasarnya manusia itu semua adalah makhluk sosial, namun tak sadarkah kalian bahwa kita juga mahkluk egois di saat yang bersamaan? 
Kembali lagi pada individu masing-masing. 
Ada sifat egoisnya dilatihh sehingga lebih bisa peka dan bertoleransi. Tapi dalam kasus ini polusi udara dan para pekemah itu belum dilatih mengenai egoisnya mereka. Maksudku, kita disini sama-sama bayar retribusi dan hanya membutuhkan ketenangan, ingin istirahat sejenak dari rutinitas yang ada, malah yang terjadi adalah beberapa anak manusia yang lebih mementingkan kesenangan diri sendiri tanpa memikirkan apakah nantinya orang lain akan terganggu ataupun tidak. 

Malam semakin larut, aku, Amanda, dan Jovita yang tadinya saling curhat mengenai kepribadian, langsung terbaring. Aku di pinggir, Amanda di tengah dan Jovita yang menutup barisan. Apa yang kami lakukan? Menonton streaming Amityville. Kami sadar hal ini dapat dilakukan dikosan masing-masing tetapi kami sempat bingung hendak melakukan ala, curhat udah sampe dalam banget, diam juga bosan, tetapi intinya kami belum mau tidur. Pada akhirnya kami terlelap. 



Matahari mulai mengetuk mata kami dan aku yang sudah terbangun sebelum matahari menampakan wujudnya, ingin membaca sejenak. Memang pas sekali tenda kami, berada di ujung sehingga mendapatkan 2 view, timur dan arah selatan. Setelah cukup puas melihat pemandangan pulau paus
( karena bentuknya kaya ikan paus) kami memutuskan untuk segera berangkat menuju suatu tempat.








Kebun marygold adalah tujuan kami selanjutnya. Berada di karangasem, tentu yang punya ide tak lain dan tak bukan adalah jovita lagi. 1,5 jam kami tempuh dari bukit asah menuju pura besakih lalu menuju menuju kantor LPD desa temukus dimana padang marygold berada.

Sesampainya kami di sebuah persimpangan kami memutuskan untuk bertanya kepada seorang bapak yang tampaknya sedang bercocok tanam. Memang benar, kebun bapak itulah yang dijadikan tempat berfoto marygold. Bahkan ada palang kecil walau sekilas tak terlihat.

Adalah bu kadek suarni yang mengantarkan kami menuju kebun marygold miliknya. Sejenak aku berbincang dengan bu kadek, beliau bilang keponakannya ada yang sedang berkuliah juga di univ ku. Pertanian. Beliau sempat bertanya apakah aku sempat berkenalan atau bertemu
dengan keponakannya. Aku hanya bergumam, lalu ku bilang belum kenal. Bayangkan ada 3000 lebih mahasiswa di satu angkatan, dan aku belum pernah bahkan jarang ke kampus pertanian.

Kulihat ada pohon pohon yang berwarna merah seperti terbakar ataupun kering. Karena penasaran ku tanya bu kadek, apa yang terjadi? Ternyata awan panas dan lahar erupsi dari gunung agung sempat melewati kebun dan desanya. Kebun dan tanaman langsung mati. Baru beberapa bulan terakhir dimulai kembali dari awal, seperti penanaman dan berkebun. Betapa maha dahsyatnya sang kuasa, bisa meluluh lantak beberapa dari apa yang ada, sang pohon pun menjadi saksi bisunya. Kau dapat melihat tidak ada satu helai pun yang bertahan pada dahan itu. Namun, beberapa sudah kembali. Bagian bawah di tumbuhi daun hijau sementara baguan atas pohon terlihat gundul . Semesta dapat berbicara dengan caranya. Tergantung kau yang akan menjadi saksinya. Termasuk masyarakat desa
temukus yang memilih mengungsi dari bencana alam yang ada.












Setelah puas mengabadikan momen, kaki kami melangkah menuju rumah ibu nyoman ani. Maklum, sebelumnya kami sempat berbincang dengan beliau. Dasar lidah ini yang lancang, aku pun menyeletuk lapar sambil memegang perut. Sedari pagi dan dari bukit asah kami belum memasukkan apapun ke dalam perut yang meminta untuk diisi. 

"Mai nae melali ke rumah" ucap bu ani ketika melihat aku. Kami pun menyanggupi, sebelum ke rumah beliau kami dimintai bayaran sebesar 50 ribu untuk bertiga oleh bu kadek suarni, dan seikhlasnya untu bu nyoman, sehingga kami memutuskan untuk membayar sebesar 30 ribu untuk bu nyoman. Setelahnya kami berangkat menuju rumah ibu tersebut. Nampak niat yang tulus dari sang ibu karena beliau kerap menyebut jovita seperti anak sendiri. Aku pun merasakannya, bahkan saat hendak mencuci tangan beliau membantu menyirami air untuk membasuh ke tangan kami. 

Beliau bilang hanya ada kacang, teh dan kopi, kami bilang apa adanya aja bu. Kami bertemu dengan ibu dari ibu kadek dan bu nyoman. Beliau sangat ramah, ku tahu itu dari gestur nya, karena beliau tidak bisa berbahasa indonesia, hanya bahasa bali. 
Maka, sembari menunggu kacang matang, kami berbincang. 

Masih ingatkah peristiwa erupsi gunung agung? Ya, bu nyoman sempat bercerita mengenai pengalaman beliau ketika hal itu terjadi. Bu nyoman sekeluarga harus mengungsi, dan sekembalinya dari pengungsian abu vulkanik yang setinggi mata kaki pun menunggu untuk disingkirkan. Aku tak terbayang betapa mencekamnya suasna pada saat itu.  Berada di situasi dimana harus meninggalkan rumah yang selalu memberikan kehangatan. Melihat apa yang terjadi dari pohon pohon sekitar yang sudah kering kerontang. 

Bu nyoman menawarkan sayur dan nasi pada kami. Unik sayur yang dibuat. Sejenis urap tetapi basah dan tidak di oseng, rasanya manis, dengan nasi putih yg masih hangat. Kami sempat bercerita sedikit-sedikit, buk nyoman sempat bercerita bahwa ia sempat memiliki teman yang berasal dari jawa. Ku tanya apakah ibu tersebut sempat melali (jalan-jalan) diluar bali? Beliau bilang belum pernah. Aku pun langsung merenung. Betapa bersyukurnya aku sering di beri kesempatan oleh tuhan untun bertemu dengan orang- orang hebat di pelosok indonesia dan menikmati karuniannya. Ku harap, suatu saat bu nyoman sekeluarga dapat berjalan melalu di luar bali. 

Kami bertemu dan berkenalan dengan cucu dari bu nyoman, saskia dan dista namanya. Mereka dengan malu-malu bersalaman denganku, masih bocah , dan senang bermain. Tetapi sangat pemalu. Lucu. 

Hari itu karena aku tak bisa berlama-lama kami langsung berpamitan dan sempat menyempatkan untuk berfoto bersama, dengan formasi kakek dan nenek (ibu dan bapak dari bu nyoman) di antaraku, jovita, amanda, bu nyoman dan saskia dan dista di sebelah kanan. Dan  sbungkuus kacang rebus untuk menemani perjalaan kami bertiga.
















You Might Also Like

0 comments

Popular Posts