4/23 16 juli 2016
Pagi ini aku menulis di
penginapan dengan view yang indah di depanku , saat ini aku berada di
penginapan surf tarimbang yang dulunya bernama peter’s magic paradise sampai
aku lupa untuk menulis jurnal ini. Terlalu banyak yang dilakukan semalam. Kami
memulai hari dengan mengucap perpisahan kepada om Paul, mba Rince dan romo
Robert. Dilanjutkan dengan mengunjungi museummnya lalu memijakan kaki di
tulisan C besar di tengah bangunan atau bisa disebut central . katanya nanti
bakal bisa balik lagi ke satu-satunya museum saat ini yang ada di Sumba.
Perjalanan +- 6 jam kami tempuh dan berhenti di salah satu warung yang ada
untuk makan.Sebelumnya kami melewati pasar akhir oekan yang ramai sekali hingga membuat macet untuk beberapa saat. banyak hal yang kuperhatikan disana, ibu ibu dengan menggunakan kain sedang menjajalkan dagangannya. pasar yang masih sangat tradisional sekali pikirku. ibu-ibu yang membawa barang dagangan di atas kepala dengan bantuan kain agar keranjang nya pun tidak jatuh. Terjadi transaksi tawar menawar dan klakson berbunyi dimana-mana, Bau amis ikan yang dijajal tercium hingga masuk ke mobil. Maka pasar tradisional yang semakin lama semakin pudar ini kulihat dari balik kaca mobil sembari menunggu mobil didepan selesai menaikan dan menurunkan penumpang.
Berdiri diatas tanda C besar, berharap bisa kesini lagi. |
Sebelum melihat-lihat ruangan kita diharapkan untuk memukul gendang tanda ingin masuk. |
Suasana pasar akhir pekan di tengah perjalanan. |
Next stopnya lagi di bukit Lailara, sungguh, indah sekali
pemandangan bukit itu, setelah berfoto, dan melanjutkan perajalanan, sampilah
kami di Tarimbang, bertemu dengan kak Cindy anak dari pemilik penginapan ini.
Sempat bingung ingin memilih kamar dimana, awalnnya kami di pilihkan kamar yang
toiletnya tertutup, tetapi aku meminta kamar dengan toilet terbuka karena
kukira waktu aku dan mira memilih penginapan ini karena toiletnya yang terbuka
ke alam itu. Setelah akhirnya memilih yang diatas. Kami melanjutkan perjalanan
ke pantai Tarimbang yang kira-kira 4 km dari penginapan. Kami pun langsung
memasang Hammmock disana sambil berfoto-foto.Terdapat sungai disana dan kayu
atau batang pohon kering.
Bukit Lailara. |
Biasa di sebut bukit teletabis karena bentukya yang berbukit bukit. |
Sekembalinya kami dari situ dilanjutkan dengan makan
malan dan berbincang malam bersama kak Cindy dan bang Deddy , supir kami. Mulai
topikya dari bom ikan, hamba atau sistem kasta di Sumba, destinasi yang indah yang
ada di sumba seperti pulau Salura yang cocok sebagai tempat diving, dan air
terjun yang belum pernah orang datangi sebelumnya. Aku baru tahu ternyata dsini
ada sistem kastanya loh! Yang bangsawan juga hamba yang berbagai macam
fungsinya, ada yang jadi “tempat menampung air liur tuannya, tempat pijakan
kaki, dan lain lain.” Namun dewasa ini sudah jarang tetapi masih ada. Disini
aku menyadaris eberapa beruntungknya aku sehingga dapat tau tentang seistem ini
di jaman yang sudah modern ini dan tidak termasuk kedalam sistem itu juga tidak
dilahirkan dengan status itu, krena menjadi hamba sampai buyut-buyutnya pun dan
lahirpun sudah menjadi hamba. Sedih sekali memang melihat masih ada sistem seperti
itu di jaman yang sudah modern ini. Tapi itupun sudah termasuk kedalam sebuah budaya. Kamipun berbicara destinasi-destinasi
yang indah yang belum pernah terjamah oleh orang luar karena aksesnya yang agak
susah. Tentang bang Deddy yang megantarkan kru pendekar tongkat emas, dan tentang
perkuliahan kami dengan kak Cindy karena ia nantinya akan menjadi dokter
lulusan UGM . kita doakan saja ya!
Maka malam itu untuk pertama
kalinya aku dan Mira mencoba memakan sirih dan kapur yang sungguh awalnya
membuat mulutku terasa panas dan aneh. Setelah having a good time kami lalu
menuju penginapan untuk beristirahat Karena besok akan melanjutkan perjalanan
lagi menuju Waingapu.
so, that's it! hope you enjoy with some narcissism hehe, no i mean great shoots that whether my friend's and I taken. You can check them out on Instagram: @hadhiyyah and @almirafl . Just wait for my nextstories! I have bunch of 'em.
Stay Groovy,
Alya.
Terlalu
banyak pengalaman yang kudapatkan untuk satu hari ini. Perjalanan ini dimulai
saat Mira, aku , dan Hadiyah merencanakan perjalanan ke Sumba. Memang otak
recana pertama kali adalah aku dan Mira, lalu mengajak Hadiyyah, pertemuan
mendadak dilakukan di terminal 3 bandara Soekarno Hatta, karena baik aku, mira
dan Hadiyyah akan pulang ke daerah studi masing-masing, mira baru pulang dari
Bengkulu hendak ke Bandung, Hadiyyah yang baru pulang dari Padang setelah turun
dari Kerinci hendak ke Surabaya, sedangkan aku hendak pulang kembali lagi ke
Bali.
Jam 1 siang kami sudah boarding dengan menggunnakan maskapai garuda : Explore. |
Im not sure ini pulau apa tapi sepertinya pulau Lombok dari atas. |
Perjalanan yang akan kami tempuh yaitu Sumba, Kupang, dan Flores dengan penutup trip sailing di komodo. Siang itu kami sudah sanpai di Bandar udara Tambolaka (TMC) dan dijemput oleh om Paul dan di sambut mbak Rinee dan romo Robert. Di sumba panggilan untuk pendeta adalah Romo. Romo Robert merupakan Pemilik Rumah Budaya Sumba tempat kami menginap selama 3 hari 2 malam selama di sumba barat dan sumba barat daya.
Nyempetin dulu foto sama pesawatnya, and let the journey begin! |
We were really happy with smiley yet friendly people in here, jangan sungkan sungkan ngajakin mereka fotoan ya. |
Hari ini destinasi dimulai dengan mengunjungi desa adat Ratenggro desa yang berlokasi di pinggir pantai. Dengan bangunan atap rumah yang membumbung tinggi +- 30 meter dari tanah. om Paul merekomendasi kami untuk membeli permen dan snack yang akan kami bagikan selama disana , Ketika sampai, kami menuju sebuah rumah untuk mengisi buku tamu. “Kalau sampai di desanya jangan foto-foto dulu ya! Nanti takut orangnya marah “. Sambil menunggu Mira mengisi buku tamu, banyak bapak menghampiri kami untuk menjajalkan hasi karyanya yang katanya terbuat dari tanduk kerbau.
a breathtaking scenery. |
keliata ga desa yang ada di belakang? |
Kalung Mamuju di pantai Pero. |
Akhirnya budget yang tak terduga keluar, 3 kalung seharga 60 ribu dengan simbol Mamuju , lambang kesuburan seorang ibu. but worth it kok, kapan lagi bisa beli oleh oleh dari desa Ratenggaro dan membantu ekonomi disana sayang banget cua beli 3 karena kita masih menghemat untuk kain ikat Sumba yang terkenal itu. Akupun agak kaget alias culture shock karena di kelilingi warga desa. Belum pernah di kerubungi seperti artis soalnya HEHE (gegayaan). Dari desa kami menuju pantai yang terdapat makam batu tuanya terdapat makam dengan umur 105 tahun.
Three of us di pantai Pero. |
but first, Lemme take a picture. |
Menurut om Paul, Desa ini dulunya terletak diatas karang yang ku pijak sekarang ini, namun seiring waktu karena air laut naik maka kampong tersebut berpindah ke atas. Saat aku berkeliling di desa, Nampak banyak sekali bercak-bercak merah, kukira awalnya tempat penyembelihan hewan untuk di santap, ternyata aku baru tau setelah 5 hari perjalanan, noda merah tersebut adalah sirih dan pinang hahahah. Kami pun lalu menuju pantai Pero untuk melihat water blow dan sunset dindahnya diantara karang karang yang tajam. Dan berakhir makan malam di Warungku. Memang aku akui, dengan modal nekat dan effort yang selama ini kami lakukan, hari pertama sudah memberi pengalaman yang berkesan masih ada 22 hari lagi wohooo!
I was soooo hungry sampe fokus banget liatin menu wkwkwk |