Sumba: Lapopu tak lekang oleh Waktu

January 12, 2017

3/23 15 juli 2016




Pagi yang dingin ini dimulai dengan kami yang sarapan di bangunan utama dari Rumah Budaya Sumba. Sempat malam sebelumnya kami bertiga memasang tali dan mencuci baju masing-masing dan menjejerkannya di kamar . perjalanan dimulai dengan mengunjungi goa alam yang terdapat di waekelo sawah. “Karena masih awal, dan air terjun lapopunya terletak di tengah hutan, maka kita ke goa alam dulu ya takut air disana dingin”. Goa tersebut memang asli buatan alami dengan stalagtit tumpul yang menggantung diatasnya. Namun jika dilihat dari air terjunnya sudah buatan manusia.setelah dari sana kami langsung menuju ke air terjun Lapopu yang berjarak +- 1 jam dari goa tersebut.








 Jalanan menuju air terjun itu berawal dari jalanan aspal yang bagus namun semakin mendekati  air terjun jalanan agak kurang bagus. Lalu kami bertanya, “Bagaimana jalan sebelumnya bias diaspal?” ïtu waktu pak presiden datang meresmikan air terjun Lapopu sebagai objek Wisata.”. Ungkap om Paul. Memang Sumba masih terbilang baru dalam hal pariwisata, masih sedikit akomodasi yang ada, namun suudah banyak baik wisatawan lokal dan mancanegara yang datang kesana, termasuk kami hehe. Tetapi untuk masalah transport umum atau akomodasi lainnya masih terbilang minim dan mungkin masih banyak lagi destinasi wisata yang belum pernah terekspos sebelumnya. Sesampainya disana kami melewati batu-batu yang agak licin dan tidak terlalu jauh dari parkiran, kita sudah dapat bertemu dengan air terjun tersebut. Namun sayang, aku salah membawa sandal dengan telapak yang agak licin. Alamatlah pas pulangnya lepas sandal. Saat menuju ke air terjun kami disuguhi pemandangan sungai yang menakjubkan dengan air yang agak keruh tapi tetap berwarna biru, karena efek dari hujan. Setelah melewati jembatan sederhana dengan kayu, kami langsung tancap gas ingin berfoto dan menikmati pemandangan yang luar biasa ini.












 Aku berdiri diatas bebatuan yang sangat licin, oh iya menurut om Paul, Sumba ini sempat menjadi inspirasi oleh sang maestro sastra Indonesia Taufik Ismail, saat itu kami sedang melewati sawah yang hijau, namun ternyata sebelumnya sawah ini menjadi padang rumput alang-alang dan menjadi inspirasi . Dari air terjun Lapopu, kami berangkat menuju bukit Pasola, dimana tempat yang menjadi saksi bisu permainan adat khas sumba ini dimainkan, Terdapat beberapa baris bukit yang dihisasi rerumputan berwarna kuning kecoklatan yang dimakan kawanan sapi dan kambing dengan lahap. 
















Kami lalu bertemu bapak-bapak dari Lamboya dan Mateus juga Lucas yang sedang mengeembala kambing. Setelah menggelar tikar , kami langsung menikmati pemandangan sambil makan siang. Dihadapan kami terdapat sawah juga pantai di salah satu sisinya. Perjalanan dilanjutkan ke pantai Marosi dengan bebatuan alam khasnyya juga terdapat para peselancar angin (wind surfing) terdapat 2 tempat yang terkenal dengan anginnya, pantai Pero dan pantai Marosi ini. Perjalnan di tutup dengan ke pantai Krewe dan minum air kelapa dan makan malam di rumah makan padang (jauh-jauh je timur bisa nemu makan padang juga wkwkwkw).








so, that's it! hope you enjoy with some narcissism hehe, no i mean great shoots that whether my friend's and I taken. You can check them out on Instagram@hadhiyyah  and @almirafl . Just wait for my nextstories! I have bunch of  'em.

Stay Groovy,

Alya.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts